Bab 2: Joker Pecinta Alam

3 0 0
                                    

Jakarta, 2016

Manusia itu aneh. Mereka suka mengumpulkan sesuatu dan membuangnya hanya karena sudah tak suka, semudah itu. Atau bahkan sengaja menimbun barang dengan berbagai alasan. Daya beli masyarakat yang luar biasa hanya jadi komoditas, bagi pengusaha mereka tak lebih dari data statistik yang naik turun. Derrys sebenarnya tak terlalu peduli dengan uang orang lain, mereka yang memilikinya dan terserah mereka mau apa dengan uang itu. Yang membuatnya kesal adalah bagaimana mereka mudah sekali membuangnya.

Penganut anti-konsumerisme seperti Derrys adalah spesies yang dibenci perusahaan besar. Termasuk mamanya yang mulai kesal dengan kebiasaan Derrys mengumpulkan barang bekas dan berusaha tidak memperparah pemanasan global. "Kamu nggak capek ke sekolah naik sepeda setiap hari? Padahal ada supir."

Derrys menggeleng dan lanjut mengangkut barang-barang ke halaman belakangnya. Seandainya ia punya tulang besi dan otot kawat seperti gatot kaca, mungkin Derrys tak perlu bolak balik dari gerbang ke halaman belakang. Mama Derrys, Galuh, menunggu anaknya selesai sebelum berpamitan. "Mama pergi dulu, ya. Kalau mau makan minta Bi Inah panasin lauk."

Derrys mendekat dan mencium telapak tangan mamanya. "Emang Mama mau kemana?"

"Mau makan malam sama petinggi perusahaan lainnya," jawabnya seraya mengelus rambut putranya. "Kalo kakakmu udah pulang nanti suruh makan dulu sebelum masuk kamar, jangan sampai dia nggak makan. Oke?"

Derrys mengangguk, "Oke, Ma." Kakak keduanya itu sedang dimabuk skripsi sampai berat badannya menurun drastis. Seluruh keluarga besar jelas khawatir dengan kondisinya, tetapi kakak Derrys selalu bersikap seolah semuanya baik-baik saja.

Mamanya sudah berangkat dan Derrys sendirian di rumahnya sekarang. Waktu yang tepat untuk mendengar lagu-lagu Bon Jovi dan The Clash dengan spiker bluetoothnya. Mama tak akan membiarkannya memutar musik keras selama di rumah. Sama seperti delapan tahun yang lalu, Derrys masih kerap melakukan hal yang tak disukai mama dan kakaknya diam-diam saat mereka tak di rumah.

Ia bergerak kesana kemari mengikuti nada musik cadas dan cepat. Gerakannya memalu paku dalam menyatukan kayu-kayu bekas disesuaikan dengan musik yang didengarnya, menciptakan bunyi berirama yang mengganggu. Perumahan ini orangnya sibuk-sibuk dan hanya pulang di malam hari, ia yakin tak akan ada yang protes padanya.

Setidaknya begitu pikir Derrys sebelum bola-bola kertas kusut dilemparkan ke wajahnya. "Aduh." Ia meringis sebab bola kertas membuatnya kehilangan fokus dan memukul jempolnya sendiri dengan palu.

"Woi! Siapa sih lempar-lempar?!" Derrys menatap kanan-kiri. Tetangga kiri rumahnya sedang liburan ke Irlandia, jadi mungkin tetangga kanan rumah pelakunya. "Keluar atau Gua bakar rumah Lu!" Baru saja ia berniat memanjat pagar dan melihat siapa pelakunya, kepala seorang gadis menyembul dari sana lebih dulu. Membuat Derrys refleks mundur.

"Suara musik kamu, kecilin dong." Kinar berusaha tak terlihat takut melihat Derrys. Apa lagi dengan penampilan cowok itu saat ini yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana jins belel. Jangan lupakan rambut berantakannya dan kalung-kalung keperakan menumpuk di leher dengan berbagai bandul yang tampak mengerikan.

Derrys mengangguk dan menurunkan volume spikernya. "Udah," katanya pada Kinar yang masih berdiri memegang besi pagar. Cahaya kekuningan di sore hari menerpa wajah Kinar, membuatnya tampak lebih cantik dengan gaun rumahan merah muda feminin yang kontras dengan penampilan Derrys.

Ada keheningan yang agak lama, diisi suara jangkrik yang entah bagaimana sore itu sudah muncul lebih awal. Derrys menunggu Kinar pergi sebelum melanjutkan pekerjaannya, sementara gadis itu seperti masih ingin mengatakan sesuatu.

"Udah," ulang Derrys. "Mau ngapain lagi Lu?"

Kinar membasahi bibirnya gugup, seolah sesuatu yang akan ia katakan bisa menghancurkan dunia. "Mau masuk band kamu. Boleh nggak?"

Resonansi Dari AkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang