Bab 1: Tawaran dari Firaun

8 0 0
                                    

Jakarta, 2016

Musim kemarau membawa angin hangat dan debu halus polusi perkotaan, berembus melewati ventilasi dan celah-celah kusen bangunan. Panas menyengat yang membakar kulit dan otak barangkali bisa membuat siapa saja akan setuju jika ada yang mengatakan apakah Hitler benar-benar mati di Garut atau Depok sebenarnya Atlantis. Tahun ajaran sekolah yang membosankan baru saja dimulai dan nama Kinar sudah lebih tenar daripada para bintang besar yang menghias televisi rumah-rumah dan mading sekolah.

Upil Ditemukan Menyumbat Tuts Piano Milik Ekstrakurikuler Orkestra Schneider Excellent School (SES). Begini Tanggapan Warganet.

Kinar mematikan ponsel pintarnya, tak berniat membaca berita itu sampai selesai. Penulisnya menyebut akronim sekolahnya sebagai SES, bukan 'Sellese' seperti yang biasa diucapkan anak-anak sekolah itu sendiri. Baginya, reporter yang tak terlalu mengenal objek yang sedang diliput itu tak layak dibaca tulisannya, sekalipun hanya perkara perbedaan akronim.

"Gimana keputusannya?" Rambut bergelombang Kinar berkibar tertiup angin barbar pembawa bau pasar, bersamaan dengan langkah kaki yang baru keluar dari gedung bertembok kaca.

"Kamu tetap dikeluarkan dari orkestra." Dagu lawan bicara Kinar terangkat satu senti lebih tinggi, menandakan tak ada negosiasi lagi. "Kami juga udah ada pengganti pianis utama."

Meski tahu akan sia-sia, Kinar masih ingin mencoba, "Cepet banget? Beneran bukan aku yang naruh upil di sana." Kinar memang punya upil sebab hidungnya belum bisa menyesuaikan diri di rumah barunya, tetapi ia yakin sudah membuang semua upilnya ke toilet. Lantas siapa yang menaruh upil di pianonya?

"Tapi buktinya ada upil di piano yang biasanya kamu pakai. Anak jorok kayak kamu seharusnya nggak usah ikut orkestra."

"Apa nggak bisa kasih aku masa percobaan?"

"Kamu kira ini sekolahannya kakekmu?" Helena melipat kedua tangan di dada, masih dengan wajah angkuhnya. "Keputusannya udah final. Waka kesiswaan sama anggota orkestra pada setuju tuh kamu keluar. Jangan pernah ke sini lagi," tegasnya sebelum meninggalkan Kinar yang menatap nanar ke dalam gedung kaca di belakangnya.

Ia sempat bertatapan dengan wanita paruh baya dari balik kaca, Kinar dapat merasakan kesedihan di matanya. Kendati ia dekat dengan pembina ekstrakurikuler orkestra atau bahkan lebih berbakat dari orang lain di dalam sana, ia tak bisa melawan suara mayoritas. Ah, bahkan kaya raya saja tak cukup. Orangtuanya harus cukup berpengaruh, bisa masuk dan sekolah di sini sampai lulus saja ia mestinya bersyukur. Kecuali ia lahir di keluarga Rockefeller, Kinar sudah akan menendang Helena ke kolam lumpur babi. Ia sadar betul ketua ekstrakurikuler itu tak menyukainya dan ini kesempatan yang bagus untuk menyingkirkannya.

Sellese bukan sekolah kolot pemuja martabat dan persepsi prestasi usang yang dianut masyarakat seperti dalam Dead Poet Society, sekolah ini lebih progresif dengan masifnya ruang pembebasan berekspresi bagi peserta didiknya. Ia hanya menyayangkan bagaimana anak-anak yang katanya berpikiran lebih modern itu masih lebih primitif daripada himne kultus Hurrian, alias masih suka mengurusi kehidupan orang. Tatapan kasihan dan bisikan keji yang mereka layangkan dari mulut ke mulut dapat didengar dan dilihat Kinar dengan jelas. Ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya mereka pelajari di sekolah sebab tak ada gejala sudah jadi manusia yang lebih baik.

Kebetulan Kinar duduk di meja kafetaria paling tengah, dan semua orang menatapnya tanpa jengah. Ia jadi kesulitan makan dengan tenang!

"Eh, aku boleh duduk di sini nggak?"

Kinar mengangkat kepalanya dengan malas, menatap gadis berparas ayu nan anggun yang memegang nampan di depannya. Ia mengangguk canggung usai gagal fokus melihat wajahnya. Matanya bergerak lebih liar melihat isi nampan cewek kurus yang dua kali lebih banyak daripada porsi normal.

Resonansi Dari AkarWhere stories live. Discover now