Bab 22

368 34 11
                                    

"Bisa nggak, nggak usah senyam-senyum kayak gitu?" Azura tidak tahu sudah berapa kali ia melontarkan protesan yang serupa kepada laki-laki yang sedang berjalan di sampingnya.

Bukannya menurut, Khandra malah terkekeh pelan. "Kenapa? Keganggu sama senyuman gue yang menawan?" sahutan Khandra membuat Azura mendengus kesal dan membuang mukanya ke depan. "Lo emang si paling juara deh, kalo urusan bikin orang jengkel."

"Bikin orang jengkel apa bikin orang kangen?" goda Khandra yang lagi-lagi membuat Azura mengelak kesal. "Siapa juga sih, yang bilang kangen? Kenalan-kenalan ba-"

"Lo doang kok. Cuma lo yang gue bikin kangen." Khandra tidak mengijinkan Azura menyelesaikan kalimatnya dan langsung memotongnya. Tentu saja kekesalan Azura semakin dibuat bertambah. Perempuan itu tanpa sadar mempercepat langkahnya agar cepat sampai ke warung nasi goreng yang terletak di ujung jalan. Ia tidak berniat untuk menunggu langkah Khandra sama sekali. Karena jujur saja, Azura kini sedang was-was setengah mati akibat rona merahnya yang pasti terlihat begitu jelas.

Tentu saja Azura terlebih dulu yang sampai di warung dan Khandra baru sampai setelah terjeda beberapa saat. Begitu masuk ke dalam warung, Khandra menemukan beberapa pengunjung berjenis kelamin laki-laki yang entah kenapa sedang memandang ke arah yang sama. Khandra yang penasaran pun turut mengikuti arah pandang mereka dan tak lama kemudian, ia berdecak tak suka.

Dengan sigap, Khandra bergerak menempatkan diri di samping Azura yang sedang memesan makanan. Dan ia tetap menempel kepada perempuan itu sampai mereka kini duduk di salah satu meja yang kosong.

Kening Azura mengerut tatkala memperhatikan Khandra yang terlihat sedang menyebar tatapan tajam kepada penghuni warung. "Ngapain sih, Ndra?" tanyanya kemudian dengan tidak sabar.

Bukannya menjawab pertanyaan Azura, Khandra malah mengalihkan pandangannya untuk memperhatikan perempuan itu dengan seksama. Sebelum kemudian, melepaskan jas yang masih ia kenakan lalu menaruhnya di atas pangkuan Azura. Tentu saja hal itu semakin membuat kerutan di dahi Azura terlihat jelas. "Kenapa sih?"

"Nggak suka aja pada ngelihatin lo." jawab Khandra yang sama sekali tidak mengusir rasa penasaran milik Azura. "Hah?"

Khandra berdecak sebelum berkata, "Besok-besok, kalo keluar rumah, pake celana panjang. Atasannya pake jaket juga."

Azura melongo sesaat lalu menyahut, "Apa sekarang di mata lo, gue berubah jadi bocah? Kenapa berubah kayak Ayah sih?"

Khandra menghela napas panjang lalu memangku pipinya dengan sebelah tangan. "Emang, lo kayak bocah banget. Tingkat kepekaannya terutama."

"Lah memangnya lo enggak? Lo juga nggak peka pake banget kok." timpal Azura tidak terima. Sebelah alis Khandra kini terangkat. "Memangnya selama kita bareng, apa yang nggak pernah gue sadari? Senyum lo beda aja gue tahu kok, lo lagi ngumpetin sakit aja gue tahu. Lo lagi nggak jujur kayak sekarang aja, gue tahu lho. Gue kurang peka apalagi coba?"

Azura terdiam, menelan ludah karena sedikit merasa was-was. Jangan-jangan, Khandra udah tahu kalo gue suka sama dia?

"Kalo lo emang sepeka itu, coba tebak gue lagi nggak jujur tentang apa ke lo?" tantang Azura yang membuat Khandra mengulum senyum. "Kalo gue kasih tahu, janji nggak bakal kabur?"

Azura mengumpat dalam hati tatkala merasakan pelipisnya yang mulai dialiri keringat dingin. Khandra sudah hendak membuka mulut dan dengan panik, Azura mengangkat tangannya untuk membekap mulut Khandra. "Nggak usah! Gue yakin tebakan lo pasti ngaconya."

Kening Khandra mengerut sesaat sebelum kemudian tawanya terdengar. Pria itu lalu menggerakan tangannya untuk melepaskan bekapan Azura di mulutnya. "Kok kayaknya lo takut banget sih. Kenapa? Takut ya kalo tebakan ngaco gue ternyata emang bener?"

Rasa Berbalut SamarWhere stories live. Discover now