Bagian XXXII "Peace"

1.7K 147 1
                                    

UNTUK sesaat, Dokyeom mengira jika ia salah dengar. Tentu saja adiknya tak mungkin mengatakan apa yang ia pikirkan.

"Apa?" Kikuknya.

Wonwoo tampak memerah, memancarkan rasa bersalah. "Aku akan kembali ke High Hronthar," ujarnya. "...aku mau menjadi murid apprentice Master lagi."

Dokyeom menyipitkan matanya. "Apprentice, ya..." Ulangnya dengan ragu.

Wonwoo tampak memerah lebih kentara, melirik Kim disampingnya. "Ya... Ya, apprentice."

Kim melangkah maju, meletakkan tangan di bahu Wonwoo.

Dokyeom tak bisa tak menyadari betapa posesifnya sikap itu. Ia merengut, tapi Wonwoo tampak bersandar pada sentuhan itu, kehadiran telepati Kim menjadi lebih hangat dan ringan sekarang.

Dokyeom hanya menatapnya dan menyadari jika ia belum pernah melihat adiknya sebahagia ini. Sungguh, sangat bahagia.

Pikiran itu menyayat hati, namun Dokyeom tak bisa kecewa dengan kebahagiaan yang melimpah. Ia dengan tenang menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tenang. Ia bisa tenang. Kebahagiaan adiknya lebih penting dari pada kekecewaannya sendiri.

Dokyeom menatap mata Kim dan berkata, "Kau akan menjaganya. Jika kau menyakitinya—"

"Tidak akan," sergah Kim dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkan bahaya apa pun menimpa muridku."

Hanya apprentice. Baiklah.

"Dan kalau adikku tidak lagi menjadi muridmu?" Tanya Dokyeom.

Dalam penglihatannya yang terbatas, ia melihat Wonwoo juga sedang menatap Kim, menunggu jawabannya.

"Wonwoo akan selalu menjadi milikku," ujar Kim, tangannya di bahu Wonwoo mengencang. "Entah dia berumur dua puluh, lima puluh, atau seratus tahun lagi." Mata Kim tampak sangat serius. Dokyeom menyelidikinya dalam diam, dan, sekuat tenaga, ia tak bisa merasakan apa-apa selain ketulusan.

Dokyeom menghela berat napasnya, mengusap wajah dan rambutnya. "Wonwoo, bisa tinggalkan kami sebentar? Sebentar saja."

Wonwoo ragu-ragu, melihat di antara mereka, lalu mengangguk pelan dan berjalan pergi.

Setelah meninggalkan mereka berdua, Dokyeom menatap Kim dengan muram. "Bagaimana aku bisa baik-baik saja dengan merelakan adikku, seorang pangeran dan satu-satunya pewarisku, yang kini menjadi mainanmu?"

Rahang Kim mengatup, sesuatu yang gelap dan berbahaya muncul di hadapan telepati Dokyeom. "Aku sudah punya banyak 'mainan seks'. Dan Wonwoo bukan salah satunya."

"Lalu apa adikku bagimu?" Dokyeom menatap tajam. "Apa kau bilang kau akan memberinya sebuah keluarga? Jika kau mau memberinya anak?" Apa para ahli pikiran dari Ordo ini bahkan diizinkan untuk mempunyai anak?

Sesuatu berkedip-kedip di mata pria itu. Dokyeom merasa aneh karena ini adalah pertama kalinya ide itu terpikir olehnya.

Kim terdiam sejenak, dengan raut wajah yang merenung.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang Ordo," balasnya akhirnya. "Kami memiliki garis keturunan yang berfungsi seperti halnya keluarga tradisional bagi kalian. Kami mungkin tidak memiliki hubungan darah, namun kami menjaga keluarga kami sendiri." Pria itu mengangkat bahu. "Namun, ada Master yang memiliki keluarga tradisional dan anak-anak. Aku tidak terlalu menyukai anak-anak, tapi jika Wonwoo ingin punya anak..." Sesuatu yang suram muncul dalam ekspresinya. "Aku tidak sepenuhnya menentang. Bagaimanapun juga itu sesuatu keputusan yang ada di antara aku dan Wonwoo." Ia menatap mata Dokyeom. "Aku mengerti jika kau saudaranya dan kau sangat mengkhawatirkannya. Tapi kau tidak perlu khawatir. Wonwoo bukan lagi anak kecil yang kau percayakan kepadaku sembilan belas tahun yang lalu. Ia mampu berpikir untuk dirinya sendiri dan Wonwoo tahu pria seperti apa aku ini. Terus terang, kekhawatiranmu itu konyol. Wonwoo punya kekuatan yang berlimpah atas kendali diriku, karena aku akan melakukan apa saja untuk membuatnya aman dan senang. Wonwoo— ia kelemahan terbesarku." Ekspresi Kim menjadi tegang, seakan-akan kata itu menyakitkan untuk diucapkan.

Dokyeom hanya menghela lagi berat napasnya. Ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata pria ini. Kim tak mungkin berbohong untuk kali ini.

Ia menatap Kim, dan pria itu menatapnya balik, tatapannya tegas dan tenang.

Dokyeom tak begitu menyukai pria ini. Tapi jika ia bisa membuat adiknya terlihat begitu bahagia, Dokyeom harus belajar untuk menyukainya.

"Baiklah," akhirnya, dan setelah beberapa saat ragu-ragu, ia menyentuhkan telepati ke tubuh Kim. Berdamai?

Sentuhan telepati Kim agak dijaga, tapi tak sepenuhnya tak ramah.

Dokyeom mengangguk, lalu berpaling. "Jadi, bagaimana kita akan menangani pers?"

[✓] Prince's Master (MEANIE Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang