Arsya Ilham Vernando

13.4K 1.5K 1K
                                    

1. Orang-orang berubah setelah kepergian abah.

Kala itu masih sangat terekam jelas, suara sirine ambulans membawa jenazan umi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kala itu masih sangat terekam jelas, suara sirine ambulans membawa jenazan umi.

Subuh itu pun, sangat dingin. Tetapi lebih dingin tubuh abah yang terbaring kaku tak bernyawa saat sujud terakhir itu.

Abah, umi, andai waktu bisa di putar, Arsya, Seorang anak laki-laki pertama ini, ingin kembali masa dimana kalian masih ada kalian.

Dimana setiap harinya disambut senyum ceria umi dan menutup malam dengan dongeng dari abah.

Hanya sebuah harapan dimana doa pun, tak bisa merubahnya.

****

Brak!

"Arsya!"

"Astaghfirullahaladzim! Ya rahman!" Dia Arsya Ilham Vernando, baru saja terbangun sekaligus terkejut dengan geduran meja dari seseorang.

"Sudah hapalan? Kenapa keliatan santai  sekali ya," ucap abi Syakir,  dan kedua saudaranya tinggal bersama kakek dan neneknya, yang memiliki pondok pesantren bernama Hidayatullah.

Awalnya pondok pesantren ini dipimpin oleh abi Syakir, lalu kemudian di wariskan  oleh anak keduanya, Ilham Syakir Vernando, namun takdir berkata lain, Gus Ilham sudah dipanggil menghadap sang khaliq. Sehingga abi Syakir lah kembali memimpin.

Arsya mengucak sebelah matanya, menatap kakeknya dengan wajah memelas. "Iyaaa kek." Balasnya.

"Yasudah, setor sekarang." Abi Syakir mengambil posisi duduk di sofa, sementara Arsya duduk di lantai depan kaki kakeknya.

Setelah mengucap lafal basmalah. Arsya terdiam sejenak, seolah sedang berfikir.

"Kenapa diam?" Tanya Abi Syakir.

"Awal surahnya apa ya, kek?" Arsya cengengesan.

Abi Syakir menghela nafas panjang, ia mengambil kayu panjang yang memang sengaja di siapkan untuk Arsya.

Melihat itu, Arsya meneguk ludahnya kasar. "Kek, Arsya—"

"Berapa lembar kakek suruh hafal?"

Arsya menunduk. "Tiga," balasnya dengan lirih.

Tak!

Tak!

Tak!

Arsya mengigit bibir bawah nya, menahan rasa perih di punggungnya, atas cambukan dari kakeknya itu.

"Mas!" Seorang wanita yang berusia hampir se-abad itu, menuruni tangga, langsung menghampiri kedua pria ini.

"Ini udah malam loh, kasian juga Arsya kalo kamu paksa. Mending Arsya naik—"

"Arsya ini calon pemimpin pesantren, kalo bukan dari sekarang belajar, kapan lagi?" Ucap Abi Syakir menatap sang istri.

"Yakan, namanya juga anak-anak," ucap umi Maryam mengusap punggung Arsya, bekas cambukan kakeknya.

The 3 Fireflies Where stories live. Discover now