BAB 4: Ditembak Cewek Gila

3.1K 610 117
                                    

William menghentikan sepeda motornya di depan sebuah bangunan tingkat dua yang diberi plang "Rumah Jodoh" di atasnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

William menghentikan sepeda motornya di depan sebuah bangunan tingkat dua yang diberi plang "Rumah Jodoh" di atasnya. Sejenak, ia melirik arloji di pergelangan tangan, sekadar memastikan jika dirinya memang belum kesorean untuk datang ke tempat ini.

Usai memarkirkan kendaraan roda duanya, William langsung masuk ke dalam dan menghampiri resepsionis yang menyapanya. Jujur saja, lelaki itu mendadak ragu. Tapi, ia sudah terlanjur datang kemari. Alhasil, William pun menjelaskan tujuan kunjungannya hari ini.

"Saya mau daftar jadi anggota, Mbak," ucap William, tanpa basa-basi.

Setelahnya, ia dipersilakan mengisi daftar tamu terlebih dulu dan menunggu selama beberapa menit sampai seorang perempuan berambut bondol muncul dengan membawa formulir di tangan, lantas menuntunnya ke ruang konsultasi usai mengenalkan diri.

"Jadi, apa yang kira-kira mau ditanyakan?" tanya Alfiani, selaku program manager Rumah Jodoh saat dirinya dan William telah duduk berhadapan. "Soalnya, rata-rata yang datang langsung ke kantor biasanya mereka yang pengin dengar penjelasan secara detail."

William manggut-manggut membenarkannya. "Iya, ada beberapa yang ingin saya tanyakan."

Lelaki itu pun melayangkan berbagai pertanyaan yang lebih detail terkait proses menjadi anggota Rumah Jodoh. Dan Alfiani benar-benar menjawabnya dengan jelas serta lugas hingga keraguan yang sempat menghampiri William beberapa saat lalu, menguap seketika.

Kali ini William yakin untuk mendaftarkan diri.

"Bagaimana? Masih ada yang ingin ditanyakan?" Alfiani memastikan. Caranya bersikap di hadapan William sangat profesional, tidak seperti lawan jenis kebanyakan yang selalu melemparkan tatapan memuja pada lelaki itu. Namun, William sendiri tidak terlalu heran mengingat adanya cincin yang melingkar di jari manis Alfiani.

William tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Nggak ada, Mbak."

"Mau langsung isi form?"

"Boleh."

Dengan sepasang jari tengahnya, William menarik kedua ujung formulir di atas meja mendekat ke sisinya. Baru saja ia ingin merogoh sebuah pena di ransel hitamnya, Alfiani langsung sigap menyerahkan pulpen padanya.

Sontak, William mengulas senyum ramah. "Makasih."

"Sama-sama. Boleh saya permisi sebentar?" Melihat William hanya terdiam sambil mengerjap-ngerjap bingung, Alfiani pun menambahkan, "Ada panggilan alam mendadak. Saya usahakan balik secepatnya."

Tidak ingin membuat Alfiani mengalami kasus serupa seperti anak murid Pak Dennis yang pernah poop di celana, William pun mengangguk mengizinkan. Lagipula, sekarang ini tugasnya hanya mengisi data diri yang mana tidak membutuhkan bantuan perempuan tadi. William akan baik-baik saja. Setidaknya sampai informasi terakhir selesai diisi.

Ya, kini William kembali dibuat kebingungan karena batang hidung Alfiani belum juga nampak. Bagaimana ini? Apa titipkan saja pada resepsionis? Tapi, bagaimana nanti kalau Alfiani mencarinya? Plus, masih ada hal lain ternyata yang ingin ia tanyakan. Tapi—lagi—ini sudah terlalu sore.

Mengejar JodohWhere stories live. Discover now