Bab 25: Tanah Merah

6.2K 498 17
                                    

Renner hanya bolak balik berjalan di kamar hotelnya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Secara logika, ia seharusnya menggunakan database kepolisian untuk menyisir segala informasi mengenai Sabila dan Tama. Informasi soal Tama cukup terbatas karena banyak file yang classified. Tapi mencari informasi tentang Sabila sebenarnya bisa ia lakukan dengan mudah.

RS Medika dan rekan-rekan kerjanya.

Sekolah dan universitas tempat ia menimba ilmu.

Keluarga Dharmawan dan latar belakang mereka.

Panti asuhan tempat ia dibesarkan.

Dan terutama, Tanah Merah tempat ia volunteer yang ada di potongan artikel dari Tama.

Tapi ini semua... adalah informasi yang ingin Renner dapatkan dari Sabila langsung. Bukan dari komputer atau hasil riset intel sana-sini.

Juga yang terpenting, apa Sabila kenal Tama?
Tampaknya tidak, dari penjelasan waktu di Rumah Sakit. Tapi Tama adalah seseorang yang sangat handal dalam penyamaran. Renner saja tidak mengenalinya sama sekali, padahal ia menghabiskan waktu beberapa hari dengan Tama di kasus Kalimantan. Seingatnya dulu, Tama adalah pribadi yang biasa saja. Kebanyakan menghabiskan waktu sendiri, tidak banyak omong, tidak banyak tingkah, dan melakukan pekerjaannya dengan baik.

Tapi kini, semua peniliaian tentang Tama sudah ia buang jauh-jauh. Detektif undercover, misi rahasia, dan juga gerakan taktisnya menyelamatkan Falcon dan Phyton di misi Candy Pop kemarin. Tama, bisa jadi orang yang berbahaya kalau dia bukan polisi.

Dan Renner juga tidak tahu seberapa berbahaya Tama untuk Sabila. Membuatnya semakin frustasi.

'Remember me?' — maksudnya apa? Kalo inget, terus kenapa? Kenapa juga harus pakai tulisan berdarah itu lagi?

Tanpa ia sadari, jari-jarinya sudah menekan tombol-tombol di HP-nya.

"Halo, Ren?" suara itu memecah lamunan Renner yang entah sudah dimana.

"Eh- Sabila?" kagetnya.

"Loh, iya, emang siapa lagi? Atau salah telfon?" tanya suara diseberang sana.

"Ng- Nggak salah kok."

"Ada apa...? Kok tumben nelfon, jam segini pula. Kan besok flight pagi katanya?" tanya Sabila.

Duh. Alesan apa. Batin Renner.

"Iya, flight pagi. Tapi saya nggak bisa tidur. Maaf ya kalau terganggu. Kamu besok shift pagi juga bukan?"

"Besok mulai jam 5 pagi juga, barengan sama flight kamu. Tapi nggak apa-apa kok, ini belum jadwal saya tidur kok. Paling setengah jam lagi." jawabnya.

"Hmm.. besok jadi kan mau makan malem sama saya?" tanyanya.

"Jadi kok.. saya selesai shift jam 3 sore, sempet pulang buat istirahat dan ganti baju."

"Oke, sampe besok kalo gitu, saya jemput jam 5 sore." tutup Renner. Ia tak mau berbicara lebih lama, khawatir Sabila akan membaca nada paniknya.

⏳⏳⏳

Esoknya, Renner menjemput Sabila jam 5 sore. Meski dipenuhi dengan kegundahan, Renner tidak ingin merusak malamnya itu. Ia ingin tetap berbahagia, toh ia juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi Sabila. Tadi pagi, ketika dijemput Paul dan Iqbal, ia sudah meminta tolong agar Iqbal memasang CCTV di sekitar rumah Sabila juga di sekitar rumah sakit dan terus memonitornya. Paul pun sudah siap untuk mencari intel lapangan terkait Tama.

Renner dipersilakan masuk oleh Mbak Sari, asisten rumah tangga Sabila, yang sudah dititipkan pesan karena Sabila masih siap-siap di kamar. Renner berkeliling ruangan, memandang ruang tamu Sabila yang dihiasi oleh foto-foto keluarga Dharmawan. Ada juga beragam sertifikat, medali, dan gambar-gambar yang di pigura, menghiasi buffet kayu di pinggir ruangan.

Two Worlds CollidingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang