37

50K 5.4K 426
                                    

Dengan langkah gontai, Anggara kembali menuju ke ruangan rawat Zidane. Semenjak kejadian di tempat olimpiade tadi, dia membawa Zidane ke Rumah Sakit untuk mendapatkan penanganan, dia tidak bisa menyembunyikan kepanikan saat itu, dia benar-benar kalut saat pemuda itu tidak sadarkan diri.

Entahlah, dia merasa perasaannya berbeda dari biasanya. Jika dulu, dia tidak peduli, bahkan melihat Zidane pingsan karena ulah dirinya pun, hatinya terasa tertutup. Namun kali ini berbeda, dia merasakan gejolak aneh di dalam hatinya, dia—takut kehilangan.

"Apa yang terjadi denganku?"

Anggara membatin, dia kemudian mengacak kasar rambutnya. Perkataan Dokter masih terngiang-ngiang di telinganya, Zidane memanglah baik-baik saja, hanya terserang demam. Namun, Dokter mengatakan jika Zidane akan kembali diperiksa dan ditanyakan beberapa hal setelah dia bangun nanti.

"Ah sudahlah. " Anggara memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan, dia melihat jika Zidane masih belum sadarkan diri di atas brankar. Dokter mengatakan juga memberikan cairan obat tidur, agar remaja itu beristirahat untuk beberapa waktu.

Sesaat terdiam, Anggara merogoh sakunya. Menelpon seseorang dengan wajahnya menahan emosi. "Tarik saham saya lima persen dari perusahan miliknya, dan kirim bawahan untuk pergi ke kediaman Ethan, beri pelajaran dengannya! Saya tidak mau tau, dia harus mendapatkan balasannya. "

Tidak menunggu jawaban, Anggara memutuskan sambungan teleponnya. Dia menghembuskan nafas, kemudian berjalan menghampiri Zidane, dan duduk di kursi yang berada di samping brankar.

Lama, Zidane menatap wajah anak itu lama. Dia mungkin memang membenci Zidane—namun, hatinya benar-benar tidak terima saat Ethan memukul pemuda ini. Dia merasakan perasaan seorang Ayah—yang telah lama hilang. Mungkin?

"Mengapa selama ini kamu menghindari saya?"

Ini aneh, bahkan Anggara sendiri tau bagaimana dia memperlakukan Zidane selama ini, sudah pasti seseorang itu akan menghindar bukan?

"Namun—kenapa kamu begitu baik?"

Anggara kini menunduk, sorot mata dingin bercampur tajam hilang entah kemana. Perasaan sakit dan rasa sesak bercampur menjadi satu, mungkin ini pertama kalinya dia merasakannya saat Zidane terbaring sakit.

Dia membenci hal ini, mengapa dia bisa melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini dengan Zidane? Dia membenci Zidane sejak dulu, sejak anak itu tumbuh menjadi remaja yang ceria dan mungkin sedikit nakal? Dia membenci akan hal itu, tentang masa kecilnya begitu kusam untuk dijabarkan.

Anggara sendiri, merupakan anak sulung. Dia yang selalu dituntut untuk sempurna, untuk menjadi penerus Perusahaan Arman—Ayahnya. Akhirnya terbentuk karakter Anggara yang begitu kaku, seakan tidak ada keceriaan di hidupnya. Dia juga dilatih untuk selalu disiplin. Dan itu memacu ketidaksukaan pertama kali oleh Anggara, dia berbeda dengan kedua anak laki-lakinya yang lain. Dan kejadian itupun terjadi, hal yang merenggut Ayahnya mampu membuatnya membenci anak yang tidak bersalah, yaitu Zidane.

Memang ini perkara takdir, namun inilah yang terjadi. Anggara belum bisa berdamai dengan masa lalunya.

Dan disisi lain.

Zidane—atau bisa dibilang Zain, pemuda itu tengah mengitari ruangan asing tanpa ada sudut. Sedari tadi dia tidak menemukan sesuatu apapun di sana, seakan dejavu ruangan ini adalah tempatnya dimana dia meluapkan tangisannya, hanya suara asing yang berbicara dan membalas perkataannya.

Dia sebenarnya takut, namun perasaannya berhasil dia tahan. Dia tidak ingin menangis begitu kencang di sini. Cukup saat itu, dia sudah berdamai dengan kehidupannya disini, berbeda dengan saat itu, perasaannya benar-benar kalut.

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Where stories live. Discover now