59

35.3K 4.4K 720
                                    

Cahaya malam menembus jendela kamar milik Zidane, pemuda itu nampak berdiri di dekat jendela tersebut dengan tatapan kosongnya, hanya terhitung beberapa jam sejak Lian membawanya ke suatu tempat tadi sore. Awalnya, dia sama sekali tidak sadar jika di depannya adalah seorang psikolog dan Abang sulungnya itu pun juga tidak menjelaskan apa-apa, hingga dia mulai tersadar di saat wanita paruh baya itu mulai mengajukan pertanyaan pada dirinya.

"Kenapa gue nggak tau?"

Zidane bergumam. Pemuda itu tidak marah, dia hanya merasa sedikit kecewa saat Abang sulungnya itu tidak memberitahukannya lebih dulu, sama halnya dengan Mamahnya, kenapa tidak meminta persetujuan lebih dulu dengannya? Apa dia tidak pantas mengetahuinya?

"Tante Diva?"

Psikolog itu bernama Diva, dia memanggilnya dengan sebutan 'Tante Diva' atas permintaan wanita itu sendiri. Zidane tau wanita itu adalah orang baik, orang yang dikenal Abang sulungnya saat berada di jenjang SMA. Setelah dia mengetahui jika di depannya adalah seorang psikolog, dia ingin pulang ke Mansion, perasaannya bergemuruh saat mengetahui fakta itu. Namun psikolog itu membujuknya, suara halus wanita itu membuat perasaannya tadi perlahan memudar.

Dia juga tidak mengerti, wanita itu bisa membuatnya mengurungkan niat untuk pergi dari sana. Lian juga diminta untuk meninggalkan ruangan itu, menyisakan dia dengan Tante Diva. Dia juga membalas pertanyaan yang diajukan wanita itu, meskipun dia tidak menjawab semuanya dengan baik.

"Gue tau dia baik. "

"Kenapa gue ngerasa familiar dengan semua yang ada di dunia ini? Termasuk—Tante Diva?"

"Setiap gue ngeliat sesuatu, gue selalu ngerasa kalo gue pernah ngejalanin itu. "

Zidane bergerak menutup kedua telinganya, desir angin malam malah membuat telinganya sedikit berisik. Dia berjalan menjauh dari jendela, sambil mengontrol nafasnya yang sedikit memburu. Dia memutuskan untuk keluar kamar, setidaknya dia bisa melihat hal lain selain situasi kamarnya yang biasa dia lihat.

"Bibi?"

"Bibi lagi apa?"

Bibi Asri menoleh, wanita itu tersenyum menatap ke arah Zidane yang baru datang arah berlawanan. "Tuan muda? Tuan muda kenapa kemari?" tanyanya.

"Zidane bosan di kamar, " sahutnya sambil menatap beberapa maid yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. Dia sedikit bernafas lega saat tidak melihat sosok Kamila, karena jujur ... sejak pulang dia menghindari Lian dan juga Kamila. "Zidane boleh ikut bantu-bantu Bibi?"

"Eh jangan tuan muda, tuan muda duduk saja. " Bibi Asri terlihat menggelengkan kepalanya cepat, namun sepertinya Zidane kekeuh terhadap pendiriannya.

"Zidane mau bantu Bibi, " ujarnya dengan suara yang lebih mencair. "Kalau diem, kan bosan. Boleh ya Bibi?"

Bibi Asri sempat terdiam, senyuman penuh arti itu terlukis di bibirnya. Entah kenapa, dia merasa jika Zidane berbeda dari yang biasa dia lihat, dia seakan melihat kepribadian Zidane yang ada di masa kecil, sebelum pemuda itu tumbuh menjadi remaja yang tertutup. "Jangan yang berat-berat ya? Bibi bolehin. "

"Makasih Bi!" sahut Zidane dengan semangat.

Zidane terlihat serius membantu Bibi Asri, wanita itu juga menyuruh maid yang tadinya membantunya, untuk mengerjakan tugas lain, menyisakan empat orang yang berada di dapur. Zidane benar-benar melakukan tugasnya dengan baik, sama halnya dengan Bibi Asri yang terkadang juga melontarkan candaan untuk mencairkan suasana.

"Ini nggak dikasih kunyit?" Zidane melirik ke arah maid yang berada di dekatnya, kemudian kembali ke arah masakan yang ada di depannya.

"Tidak tuan muda, makanan tidak usah pakai kunyit. "

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Where stories live. Discover now