43

48.8K 5.1K 391
                                    

Di hari libur, Zidane masih tidak tergerak untuk bangkit dari tempat tidurnya, kala ngantuk masih menyerang. Matanya masih tertutup seolah enggan untuk membuka mata, bahkan saat mendengar ketukan pintu kamarnya telinganya seolah tuli, beruntung kamar Zidane tidak terkunci saat ini.

"Tidur?" Orang itu membatin, kemudian menghela nafas pelan. Dia perlahan berjalan mendekati anak itu, kemudian membuka suara kembali. "Zidane. "

Dia menghela nafas panjang, kemudian melakukan aktivitas yang sama seperti tadi. "Zidane. " Kali ini, Lian—laki-laki itu menggoyangkan tubuh Zidane yang masih terlelap, namun tidak ada reaksi jika laki-laki itu akan bangun dari tidurnya. "Bangun. "

Lian berdecak untuk ketiga kalinya, suaranya seolah dianggap hanya angin lalu. Dia menggoyangkan tubuh Zidane dengan sedikit tenaga yang bertambah, namun hal yang terjadi? Hanya leguhan yang dia dengar, namun pemuda itu masih menutup mata. "Sejak kapan dia molor banget?" Dia mendengus pelan.

"Zidane!" Kali ini Lian menaikkan satu oktaf suaranya, dan dia juga mendekatkan mulutnya ke telinganya. Dan hal itu langsung terbukti dengan Zidane yang mulai membuka mata.

"Astaghfirullah!" Zidane menjerit, anak itu mundur selangkah dari tempatnya. Setelah sadar, dia mengelus dadanya sambil mengucap istighfar kembali. "Bang Lian, kenapa ngagetin sih?"

Lian menaikkan alisnya, hatinya turut merasakan senang saat menyadari jika Zidane menunjukkan ekspresi kesalnya. Setidaknya, dia tidak selalu melihat wajah datar Adiknya. "Salah sendiri, kenapa nggak bangun, hari libur nggak usah malas-malasan. " Dia melipat kedua tangannya di atas dada.

"Ngantuk Bang. " Zidane menghela nafas, dia kembali menyembunyikan wajahnya dibalik selimut, namun bukan Lian jika dia hanya membiarkannya. Pemuda itu menarik selimut Zidane berulang kali, hingga membuatnya memberengut kesal. "Bang~"

Lian terkekeh ringan, sedikit langka melihatnya menunjukkan ekspresi selain datar selama ini, sifatnya memang mewarisi sifat dari Anggara, namun Lian tidak ringan tangan, dia bisa lebih mengendalikan emosi dibandingkan dengan Anggara. "Temenin Abang. "

"Kemana? Biasanya ke kantor kan?" sahut Zidane sambil menutup mata. "Nggak usah pura-pura Bang, Zidane tau Abang nggak ada waktu libur, Zidane nggak mau ke kantor—"

"Siapa bilang ke kantor? Ini hari libur bekerja," potong Lian sambil menaikkan satu alisnya. Pemuda itu kembali menggenggam tangan Zidane, dan menyuruhnya untuk bangkit. Dan kali ini, Zidane hanya dibuat pasrah, sepertinya Lian tidak membiarkannya tidur dengan tenang jika dia tidak mendengarkannya. "Abang mau minta temenin ke Restoran. "

"Ngapain?"

"Ikut aja, siap-siap. " Lian langsung berbalik dan berjalan meninggalkan tempatnya tadi, namun saat di ambang pintu dia berhenti. "Jangan tidur, atau Abang seret. "

Zidane mendengus, mengapa Lian tau jika dia ingin tidur lagi? Dia hanya menatap kesal ke arah Lian yang berlalu. "Kenapa Bang Lian mulai ngeselin ya?" Otak dangkal Zidane berpikir, dia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya dan bersiap-siap.

Keheningan menyelimuti suasana di dalam mobil, Lian nampak fokus menyetir mobilnya sendiri, dan di sebelahnya ada sosok Zidane yang menampilkan wajah tanpa ekspresi. Meskipun merasa canggung, Zidane tentu tidak ingin membuka suara lebih dulu, apalagi untuk bertanya mengapa Lian mengajaknya keluar. Dia tidak terlalu was-was seperti dia pergi dengan Anggara, karena sejauh ini Lian juga jarang berinteraksi dengannya, mungkin hanya momen-momen tertentu seperti beberapa waktu terakhir ini.

Beberapa menit telah berlalu, benar saja mereka saat ini sampai di sebuah Restoran. Zidane hanya mengikuti langkah Lian yang lebih dulu keluar mobil dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam Restoran. Saat sampai di meja tempat duduk mereka, Lian langsung mengeluarkan sebuah laptop dari tasnya.

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang