12

2.1K 73 1
                                    


Tidak terasa sudah seminggu Felicia menghadapi sikap tak punya hati Ervin. Pria itu bahkan berlaku seenaknya. Felicia bahkan mulai terbiasa dengan kegiatan menyiapkan perlengkapan pria itu. Seperti pagi ini. Dengan wajah setengah menahan kantuk, Felicia memilih-milih jejeran kemeja di depannya. Mencocokkannya dengan dengan dasi juga jas.

Yang awalnya Felicia merasa kesal, kini dia berusaha menikmati apa yang ia lakukan. Termasuk mengikuti kelas memasak seperti yang pria itu inginkan.

Selesai mencocokkan semua perlengkapan Ervin, Felicia membawanya menuju ranjang. Meletakkannya di sana. kakinya berputar. Melangkah ke arah lemari yang menyimpan jejeran sepatu. Meraihnya satu, membawanya melangkah ke lemari di samping, di mana ada banyak tas. Meraih salah satu tas kerja Ervin dan membawanya bersama sepatu di tangannya yang lain menuju ranjang.

"Biru?" Suara ketus itu menggelegar diseisi kamar. Membuat langkah Felicia terhenti. "Ganti! Saya sudah bilang jika saya tidak suka dengan kemeja berwarna, kan? Apa kamu tuli?!"

Kemeja yang Felicia letakkan di atas ranjang seketika terhempas kasar di atas lantai. Bersamaan dengan dasi juga jas pria itu. Yang sejak tadi Felicia bahkan memilihnya dengan begitu hati-hati.

Felicia masih mematung. Diam di tempatnya. Seakan ada paku besar yang menancap di kakinya. Membuat ia sama sekali tidak bisa bergerak.

"Felicia, Kamu tuli?!" Bentak Ervin, menyadarkan Felicia. "Saya sudah bilang saya tidak menyukai pakaian ini! Ganti!" Yang seketika membuat Felicia melangkah mendekat. Dia melangkah dengan tangan yang masih memegang sepatu juga tas pria itu. Terus melangkah hingga Felicia berdiri tepat di hadapan Ervin.

Lalu tanpa ragu sedikit pun, melemparkan sepatu di tangannya di atas lantai kasar. Tepat berada di atas tumpukan pakaian kerja pria itu.

"Aku bukan pembantumu, Ervin! Aku istrimu!" Bentak Felicia, ikut terpancing marah. "Kalau kamu keberatan dengan semua pilihanku, kenapa tidak kamu saja yang memilihnya? Huh?"

Langkah Felicia mundur. Bergerak menjauh. Tapi secepat kilat sebuah tangan menahan sikunya. Mencekramnya erat dan kuat.

"Istri, ya?" Dia berbisik lirih. Kakinya melangkah mendekat dengan gerakan lambat. Ada seringai yang menghiasi bibirnya saat kedua mata itu menguncinya. Menatap wanita di depannya yang kini menatapnya marah.

Menarik tubuh itu untuk lebih dekat. Ervin berhasil mencekram dua siku wanita di depannya. Membuat Felicia memberontak dan melepaskan diri. Tapi tenaga wanita itu kalah jauh saat tenaga Ervin bahkan jauh lebih besar. Dan kepanikan Felicia kian menjadi-jadi saat wajah itu mendekat. Nyaris saja menyentuh wajahnya kalau saja Felicia tidak memalingkan wajahnya.

Wajah itu terus mendekat-yang tanpa diduga kini mendekat ke arah telinga. Bukan pipi atau bahkan bibir Felicia. Membuat tubuh Felicia gemetar ketakutan. "Apa yang kamu harapkan dari pernikahan ini, Felicia? Saya yang akan memperlakukan kamu layaknya seorang istri?" Bisikan itu membuat kedua mata Felicia yang sempat terpejam penuh ketakutan terbuka. Dia menatap wajah pria yang saat ini tampak mencemoohnya.

"Simpan rapat-rapat mimpimu itu, Felicia. Karna sampai kapan pun, saya tidak akan sudi menganggap kamu sebagai istri. Kamu tahu kenapa?" Dia berdecih sinis. "Karna kamu tidak pantas untuk dijadikan seorang istri. Apalagi dihargai layaknya seorang istri. Jadi simpan rapat-rapat semua mimpimu itu untuk bisa menjadi seorang istri saya."

Tangannya menghempaskan tubuh itu, kasar. Beruntungnya Felicia secepat kilat menjaga keseimbangannya. Membuat dia hanya mundur dan tidak terjatuh ke atas lantai. 

Lalu tanpa perasaan, Ervin melangkah. Menginjak seluruh pakaian yang tadi sempat Felicia pilih. Menginjaknya tanpa perasaan. Yang seketika membuat Felicia mengepalkan tangan penuh marah.

"Bereskan kekacauan itu!"

Felicia berteriak marah. Menyumpah serapahi Ervin dengan semua stok kata-katanya. Sama sekali tidak peduli jika pria itu akan mendengar atau bahkan marah karna kata-katanya. Tapi kali ini, dia benar-benar marah.

****

Kemarahan Felicia terbawa sampai ke rumah sakit. Dia bahkan berkali-kali ingin mengomel dan memaki. Namun sekuat tenaga dia menahannya, alhasil diantara waktu sibuknya. Ia hanya bisa diam di ruangannya, berusaha mereda amarahnya yang sejak tadi menggerogoti hatinya.

Tapi kehadiran seseorang yang tak pernah ia duga datang ke ruangannya, membuat segala amarahnya menguap. Hilang pergi entah ke mana.

"Papa?" Ujarnya sedikit terkejut. Menemukan ayah mertuanya datang mengunjunginya ke rumah sakit.

Bangkit dari duduknya, Felicia mengecup punggung tangan Bram sopan. Menarik bibirnya lebar saat pria yang seusia papanya menatapnya hangat. Khas seorang ayah yang menatap putrinya.

"Kenapa papa nggak ngabari Feli kalau mau ke sini. Kan Feli bisa ke depan jemput papa." Felicia menggiring mertuanya untuk duduk di sofa yang berada di ruangan itu. Mempersilahkan mertuanya duduk selagi dia melangkah ke arah mejanya untuk menghubungi seseorang yang bisa membantunya membuatkan sesuatu untuk mertuanya yang untuk pertama kalinya datang berkunjung menemuinya di rumah sakit.

"Papa hanya ingin mampir sebentar." Jelas Bram saat Felicia sudah mengambil tempat duduk di sampingnya. "Gimana hubungan kamu dengan Ervin?"

"Baik, Pa."

Bram tersenyum mendengar itu, mengangguk-anggukan kepalanya. "Dia nggak berbuat sesuatu sama kamu, kan?"

Senyum Felicia lenyap. Tapi buru-buru kembali menampilkan senyumnya.

"Kamu bisa mengatakan pada papa kalau saja Ervin berbuat tidak baik padamu, Nak. Papa akan selalu membelamu dan berada di pihakmu."

Felicia kian tersenyum lebar, dengan semangat dia pun mengangguk mengerti. Meski tidak akan benar-benar melakukan apa yang mertuanya itu katakan, namun dia tidak akan membuat siapa pun mengkhawatirkannya. Termasuk para orang tua yang bisa saja nanti akan merasa kecewa.

"Terima kasih, Pa."

Bram mengangguk, menepuk punggung tangan menantunya dan bergumam. "Papa tahu kamu adalah wanita baik-baik, Nak. Karna itulah papa memilihmu. Dan papa harap putra papa tidak akan mengecewakanmu, hmm?"

"Papa tenang saja. Ervin baik. Dan kami pasti akan baik-baik saja, Pa."

Bram mengangguk dan tersenyum. "Syukurlah jika dia memang memperlakukanmu dengan baik." Lalu diam sesaat. Hingga ada tarikan nafas yang terdengar panjang dan berat.

"Papa tidak tahu harus mengatakan ini atau tidak. Tapi, papa merasa semua ini tidak adil jika nanti kamu mendengarnya dari orang lain. Terutama dari orang yang membenci putra papa."

"Maksud papa?"

"Mungkin jika menunggu putra papa yang mengatakan semua ini. Itu terlalu mustahil. Ervin adalah jenis anak yang tertutup dan lebih suka memendam segalanya sendiri."

"Sejak kepergian mamanya karna kebodohan papa. Ervin berubah seperti sekarang ini. Dia selalu bersikap semaunya dan kejam."

Felicia cukup terkejut mendengar itu. Dia bahkan sampai menelan ludah susah payah.

Sejak ibunya meninggal? Jadi wanita yang saat hari pernikahannya malam itu, berdiri di samping ayah mertuanya bukanlah ibu kandung Ervin?

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now