Hanako melangkah ringan ke beranda rumah. Ia mengenakan gaun merah panjang sampai mata kaki, dilapisi oleh jubah berwarna putih dan topi rajut dari wol. Kedua tangannya dilindungi oleh sarung tangan dan ia memakai sepatu bot kulit yang ringan tetapi hangat.
Walau sore itu udara dingin, tetapi tidak mengurangi sedikit pun minat semua orang untuk menghadiri festival musim gugur di Desa Aetherwind. Termasuk Hanako.
Hanako berjanji akan pergi ke festival bersama Magnus. Namun, sudah sepuluh menit ia menunggu di depan rumah, tetapi batang hidung pria itu belum tampak juga. Hanako mengintip ke dalam rumah, mengira suara langkah kaki yang terdengar adalah milik Magnus. Namun, ternyata bukan.
"Thomas, ada apa?" tanya Hanako, bingung melihat pria yang mengenakan jas putih itu muncul di beranda.
"Apa kau sudah bicara dengan Magnus?" tanya Thomas. "Soal itu?"
Hanako terperangah, ia lupa. Thomas merujuk soal tes kandidat terpilih. Namun, sebelum itu, Hanako harus meminta Magnus memulihkan segel miliknya dulu.
Melihat ekspresi yang dibuat oleh Hanako, Thomas bisa menebak kalau gadis itu belum memberitahu Magnus sama sekali.
Thomas mendesah pelan. "Tidak apa-apa. Kita masih ada waktu."
"Aku akan bilang setelah festival nanti," potong Hanako, cepat.
"Kau yakin?"
Hanako mengangguk. "Lebih baik kita mendapatkan jawabannya secepat mungkin."
Walau ia bicara dengan nada yang tegas, sebenarnya hati Hanako berat untuk melakukannya.
Bahkan, kalau isi hatinya disisir lebih lanjut, Hanako sebenarnya berharap kalau Thomas bukan Ksatria Terpilih. Itu bukan karena Thomas pria yang buruk. Bukan sama sekali. Thomas baik, Hanako tahu itu. Ia juga pekerja keras yang tidak menyerah dengan nasibnya. Bahkan, ia bisa memahami kenapa Dewa menjadikan Thomas sebagai kandidat.
Itu karena ia belum ingin berpisah dengan Magnus. Namun, ia tidak bisa menunda melakukan tes karena Thomas tiba-tiba menyatakan perasaannya. Hanako tidak mungkin menolak andai Thomas benar-benar Ksatria Terpilih.
Ia ingin perasaan yang mengganjal itu segera berakhir. Sama seperti Thomas, ia juga membutuhkan jawaban yang pasti.
Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Hanako dan Thomas berbalik, menemukan Magnus sudah bersedekap di belakang mereka.
"Kau mau ikut juga?" tanya Magnus kepada Thomas. Nada suaranya terdengar keberatan.
"Tidak, tadi ada yang sedang kubicarakan dengan Hanako." Thomas berbalik dan berjalan masuk ke rumah. Ia tidak berkata apa-apa lagi.
"Kau lama sekali," kata Hanako, tiba-tiba. Ia berjalan ke depan pria itu dan membetulkan kerah jubah Magnus yang terlipat ke dalam. "Tidak rapi."
Magnus tersenyum kecil melihat raut wajah Hanako yang cemberut. Gadis itu pasti kesal karena dibuatnya menunggu terlalu lama.
Magnus menjulurkan wajahnya, memberikan kecupan cepat di pipi Hanako. Gadis itu mengangkat kepalanya dan terkejut.
"Maaf," ucap Magnus sambil tersenyum.
Pipi Hanako merona karena tindakan Magnus, tetapi ia sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Matanya yang berwarna biru langit berbinar-binar menatap Magnus, tangannya menggapai genggaman pria itu.
"Ayo, sudah sore. Aku ingin melihat-lihat seluruh desa," ajak Hanako.
"Iya." Magnus tertawa kecil, ia menurut saat Hanako menyeret tangannya. Gadis itu mengapit lengan Magnus, sepanjang jalan sampai ke lokasi festival.
YOU ARE READING
Tides of Plague and Time | 21+ Adult Only!
FantasyCerita ini repost. ⚠️ WARNING! KONTEN DEWASA! BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN! ⚠️ 🔞 Berisi adegan dewasa dan vulgar, risiko membaca ditanggung sendiri!🔞 Volume ketiga dari seri Priestess Temptation. Seri 1: The Priestess and the Wizard sudah tersedi...