219 - [Jiaoshan] Jangan Pergi

232 24 2
                                    

[Jiaoshan] Jangan Pergi

💜Mo Ran tidak menjawab, atau mungkin dia tidak bisa menjawab. Dia hanya berjalan maju dan memeluk Chu Wanning.

"...Apa yang terjadi padamu?"

Di pelukannya ada baju yang agak dingin dan tubuh yang hangat.

"Kenapa kau menangis?"

Mo Ran tidak tahu. Mimpi, kenyataan?

Dia tidak jelas lagi. Tapi di Paviliun Teratai Merah, tidak ada mayat Chu Wanning yang sudah dingin. Shizun-nya masih hidup.

Ini sudah cukup.

Mo Ran memuaskan diri untuk momen ini, dan tidak ingin bangun lagi.

Dia dan Chu Wanning menyelesaikan alat mekanik bersama-sama, dan ini sudah larut malam. Dia menarik Chu Wanning kembali ke kamar. Seperti kehidupan sebelumnya, dia membenamkan diri di lehernya.

Dalam mimpinya, Chu Wanning tidak begitu jinak. Dengan kejam dia selalu menampar wajahnya tanpa henti.

Bahkan ketika dia bahagia di atas tempat tidur, Chu Wanning menggigit bibirnya untuk meluapkannya. Mata phoenix-nya berkaca- kaca, tapi tetap tidak berteriak, hanya terengah- engah tanpa bisa menahannya.

Nyala lilin tidak padam, cahaya lampu menyinari wajah lelaki di bawahnya. Mo Ran menatapnya lekat-lekat, hampir tergila-gila, menatap fitur wajah Chu Wanning, mata hitamnya, dan pantulan lilin di mata itu.

Pantulan lilin itu berkedip-kedip seperti kelopak bunga yang jatuh di kolam yang dalam. Sementara Mo Ran menatap, kelopak itu bergoyang dan mengambang di air. Riak menyebar, akhirnya, air lembap jatuh dari mata Chu Wanning dan Mo Ran menciumnya. Dia tahu betul orang seperti apa Chu Wanning. Jika dia tidak menggunakan ramuan cinta, sangat sulit untuk bercinta. Pengendalian

dirinya tidak mudah digoyahkan.

Tapi terus kenapa?

Air mata tidak bisa dikendalikan, begitu juga desahan napas. Tidak masalah bagaimana ini terjadi, Mo Ran senang melihatnya menangis sampai wajahnya memerah dan matanya kehilangan fokus. Dadanya tanpa tertahan naik turun saat dia terengah-engah.

Malam itu menawan dan lembut. Setelahnya mereka tidur saling memeluk.

Mo Ran memeluknya erat-erat. Keduanya berkeringat, tubuhnya yang panas dan basah melekat ke tubuhnya yang panas dan basah, bahkan rambutnya menempel di sisi wajahnya. Dia mencium cuping telinga Chu Wanning dengan lembut dan memeluknya lebih erat di

lengannya.

"Ini bagus, Shizun. Sekarang kau di sisiku, ini bagus."

Mo Ran tertidur.

Dia membuka mata dan terkejut menemukan bahwa Chu Wanning tidak ada lagi di sampingnya.

"Shizun?!"

Dia duduk.

Lalu, dia melihat Chu Wanning sedang berdiri di dekat jendela yang setengah terbuka. Hari sudah fajar, dan hujan gerimis turun di luar jendela. Mo Ran menghela napas lega dan mengulurkan tangan. "Shizun, kemarilah..."

Tapi Chu Wanning tidak bergerak. Dia sudah berpakaian rapi, mengenakan jubah putih salju, diam-diam memandang lelaki di tempat tidur itu. Mo Ran menatapnya dan tiba-tiba rasa gelisah yang kuat naik di dadanya.

Chu Wanning berkata kepadanya, "Mo Ran, sudah waktunya aku pergi."

"Pergi?" Suara Mo Ran serak. Tempat tidur masih hangat, ada rambut yang rontok di bantal,

dan sedikit bau ketidaksenonohan di udara. Tetapi Chu Wanning, meskipun berdiri di depan matanya, tampak dipisahkan oleh danau dan laut. "Ini adalah Paviliun Teratai Merah, rumahmu. Kita sudah di rumah, ke mana kau

(212 - 311 ( + extra) The Husky and His White Cat ShizunWhere stories live. Discover now