Ada beberapa pantangan pernikahan menurut Primbon Jawa yang telah dilewati Windy dan Jibran. Mulai dari perhitungan weton, mencocokkan hari lahir, kedudukan anak ke-berapa, melihat arah rumah keduanya, dan masih banyak lainnya. Dari semuanya, ada sa...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sepertinya, merajuk memang sudah menjadi sikap dominan yang tertanam pada diri perempuan. Tidak hanya untuk perempuan dewasa saja, tetapi juga pada anak kecil. Seperti Zau misalnya.
Jibran bergeser semakin mendekati tubuh mungil Zauvina. Namun, titisan istrinya itu segera menjauh dan memalingkan wajah. Mimik mukanya tidak bersahabat. Zau marah karena tidak diijinkan membeli apa yang disukainya.
"Kan, kemarin udah beli, Sayang. Adek juga belum lama ini sembuh dari flu. Nanti kalau sakit lagi gimana?" ucap Jibran kembali membujuk.
Zau mengeratkan pelukannya pada boneka kucing di tangannya. Ia memalingkan wajah lagi saat Jibran berusaha menatapnya.
Jibran menghela napasnya. Ia menatap Windy meminta bantuan. Tapi, Windy melengos. Perempuan itu sudah terlanjur lelah menghadapi putrinya. Ia tidak mau emosinya terlepas begitu saja di tengah keramaian.
Zean masih tenang di gandengan Windy sembari mengedarkan pandangannya. Menatap satu per satu store mall yang mereka datangi.
"Besok, deh. Ayah belikan ice cream," kata Jibran akhirnya.
"Ayah," tegur Windy.
Perempuan itu menautkan kedua alisnya. Ia tidak setuju dengan keputusan suaminya. "Kan udah sepakat enggak boleh manjain anak."
Windy beralih melihat Zau. "Adek udah janji, loh, ya. Peraturannya minimal satu kali dalam seminggu," ucapnya tegas pada Zau.
Zau mencebik. Gadis kecil itu merunduk. Mendengar suara bundanya itu membuat matanya perlahan berkaca-kaca.
Windy menghela napasnya. Ia menekan kembali kesabarannya agar tidak memarahi Zau lebih keras.
Sudah beberapa kali Windy dan Jibran menghadapi sikap merajuk Zean dan Zau. Kebanyakan memang dari Zau. Namun, entah mengapa Windy selalu tidak bisa membujuk Zau dengan mudah. Maka dari itu, ia melemparkan tugas tersebut pada Jibran.
Di sisi lain, Jibran sudah biasa menghadapi sikap merajuk Zau. Sebab, ia sudah berpengalaman menghadapi ibu dari putrinya. Bisa dapat dikatakan, Jibran sudah khatam.
Zau menatap Jibran. Langkah kecilnya mendekat pada pria itu kemudian berlindung di pelukan sang ayah. Jibran pun mengusap-usap punggung Zau dengan sayang.
"Bunda enggak marah, kok. Adek patuh sama Ayah dan Bunda, ya."
Zau masih diam. Mulutnya tekatup dengan rapat. Garis bibirnya melengkung ke bawah.
Zau tidak menjawab. Salah satu tangannya mengalung ke leher Jibran. Wajahnya turut disembunyikan. Jibran pun membawa Zau ke gendongannya.
"Mau berapa? Satu? Dua?" ucap Jibran lagi.
"Bunda." Suara Zean mengintrupsi mereka.
Windy menunduk menatap Zean.
Promoted stories
You'll also like
"Mau buku dino," katanya.
Ucapan Zean itu mampu mengembalikan kesadaran Windy dan Jibran bahwa kedatangan mereka di sana untuk jalan-jalan sekaligus mencari buku-buku anak untuk Zean dan Zau.
Windy dan Jibran saling bertatapan.
"Duluan aja. Nanti Mas nyusul," kata Jibran mengisaratkan ia ingin menghibur Zau terlebih dahulu.
"Bunda, Ayo!" Zean menarik tangan Windy.
"Ya udah, ayo."
Windy pun mengikuti langkah Zean pergi ke toko buku. Meninggalkan Jibran dengan segala usahanya membujuk putri kesayangannya.
***
"Bunda, buku beli dua boleh?" tanya Zean.
"Boleh. Ambil aja buku-buku yang mau Kak Zean baca," jawab Windy.
Mendengar jawaban tersebut, Zean merasa senang. Laki-laki itu memberikan buku dinosaurus yang telah dipilihnya pada Windy. Setelah itu, ia sibuk memegang buku-buku lain untuk ia pilih kembali.
Windy senantiasa mengekor Zean. Sesekali ia ikut melihat buku dan merekomendasikannya pada Zean. Tidak ketinggalan penjelasan singkat tentang isi buku ia utarakan agar Zean tahu apa yang terdapat di dalam buku tersebut.
Jibran dan Windy sepakat tidak akan memanjakan Zean dan Zau perihal apapun, terutama pada sifat komsumtif. Seperti makanan misalnya. Namun, berbeda pada buku. Pasangan itu akan sangat suka jika Zean dan Zau suka terhadap hal-hal yang meningkatkan wawasan mereka. Jadi, ingin membeli sebanyak apapun buku, Windy dan Jibran tidak mempermasalahkannya.
"Buku alif, ba, ta, Bunda. Ada wananya," kata Zean.
Windy berjongkok. Ia mengambil buku yang ditunjuk Zean. "Bagus ya, ada warnanya. Kakak mau?" tanya Windy yang dibalas Zean dengan anggukan kepala.
Windy tersenyum. "Apa lagi?"
Zean bergeser mencari buku yang lain.
"Ini!" tunjuknya pada buku berhitung.
"Itu perkalian dan pembagian, Kak. Nanti Kakak pusing. Belajar dari yang mudah dulu, ya. Penjumlahan dan pengurangan."
"Oke."
Beberapa menit memilih buku dengan Zean, Windy merasakan pelukan di punggungnya. Perempuan itu sedikit tersentak lantas menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan mata bulat Zauvina.
"Sayang," ucapnya.
"Bunda. Zau maaf." Bibir kecil itu bertutur lembut.
Windy tersenyum. Ia memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Zau.
"Iya, Sayang. Bunda maafin. Bunda juga minta maaf, ya, udah bikin Adek sedih."
Windy mendapat kecupan di pipinya. Kedua sudut bibir Windy pun tertarik.
"Bunda juga sayang Adek." Windy membalas kecupan Zau.
Perempuan berbeda usia itu pun saling berpelukan. Jibran tersenyum melihat dua wanitanya berdamai. Tidak ada hal yang lebih indah selain melihat orang-orang terkasihnya menguarkan cinta dan kasih sayang terhadap satu sama lain.
"Zau ndak mau es cim lagi. Kata Ayah, Zau haus ingkal janji—"
"Eh? Kok ingkar janji?" ucap Jibran tersentak kemudian terkekeh.
Zau menatap Jibran.
"Ouh!" Seperti biasa, Zau menutup mulutnya ketika salah berbicara.