Bab 22: Setitik Api yang Membesar

903 165 18
                                        

Zau berdiri di tengah taman bermain PAUD

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou mettre en ligne une autre image.

Zau berdiri di tengah taman bermain PAUD. Wajahnya mulai cemberut mendengar ejekan-ejekan yang terus terlontar dari mulut Kio. Alisnya menyatu. Matanya menatap kesal ke arah Kio.

"Hahaha, Zau! Zau enggak bisa ngomong 'R'!" Ia tertawa dan anak-anak di sekeliling mereka ikut tertawa, mengejek Zau.

"Kio nakal!" balas Zau.

Kio menjulurkan lidahnya. "Zean aja bisa. Masa kamu enggak bisa."

Zau tidak tahu harus berbuat apa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Zau memang selalu kesulitan melafalkan huruf tersebut dan ejekan Kio seperti sabetan pisau di hati kecilnya. Ia menggeleng, berusaha mengabaikan Kio, tetapi ejekan itu terus berlanjut.

Zau mengedarkan pandangannya. Ia membutuhkan Zean. Mereka berpisah karena Zean bermain dengan Kila. Di sisi lain, Zean melihat semua itu dari kejauhan. Rasa marahnya mulai meluap saat melihat Zau yang tertunduk dengan wajah penuh air mata.

"Jangan nakalin Zau!" teriak Zean, menghampiri mereka.

Kio menantang balik. "Dia nggak bisa ngomong 'R'!" Ucapan Kio membuat Zau semakin terpuruk.

Zean tidak bisa menahan diri lagi. Dengan segenap keberanian, ia melayangkan tinju ke pipi Kio. "Kio jahat!"

Kio terjatuh, tangisnya pecah saat pipinya terasa nyeri. Zean segera memeluk Zau. "Sst, Adek. Jangan nangis. Kakak di sini," bisiknya lembut, berusaha menenangkan saudaranya yang masih terisak.

Namun, tangis Kio pun terdengar semakin keras. Anak-anak lain di sekitar mereka kini terbelah, setengah tampak terkejut, setengah lagi terlihat menyaksikan drama itu dengan tatapan polos.

Miss Asah yang baru saja datang ke area playground terkejut. Guru muda itu segera mendekati Kio, Zau, dan Zean. "Ada apa ini? Kok nangis?" suaranya yang lembut memecah tangisan kedua anak didiknya.

Zean berdiri tegak, menatap Miss Asah dengan mata penuh keberanian. "Kio ngejek Dek Zau, Miss! Dia bilang Dek Zau bodoh karena nggak bisa ngomong 'R'! Zean cuma melindungi Adek!"

Zau yang masih terisak menatap Miss Asah, berharap ada yang memahami perasaannya.

Kio, masih menangis, berkata, "Zean pukul Kio!"

"Udah. Cup-cup. Tenang, ya."

Miss Asah mengusap pipi Kio kemudian mengusap punggung kecil Zau.

"Yang lain lanjut main. Kio, Zau, dan Zean ikut Miss. Yuk!"

Ketiga anak itu berjalan beriringan, Zean masih menggenggam tangan Zau, berusaha menenangkan saudaranya. Miss Asah mengajak mereka menuju kantor.

***

Kantor guru yang seharusnya tenang berubah menjadi ruangan yang penuh ketegangan. Windy duduk di kursi, napasnya berat, seakan-akan setiap kalimat yang ingin dia ucapkan hanya akan memperburuk suasana. Di sebelahnya, Zau masih sesekali terisak, sementara Zean duduk dengan wajah polos, meskipun masih terlihat sedikit tegang. Jibran duduk di samping Windy.

Sembagi Arutala 2 [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant