Ada beberapa pantangan pernikahan menurut Primbon Jawa yang telah dilewati Windy dan Jibran. Mulai dari perhitungan weton, mencocokkan hari lahir, kedudukan anak ke-berapa, melihat arah rumah keduanya, dan masih banyak lainnya. Dari semuanya, ada sa...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Yangti!"
Zau dan Zean berlari menghampiri Bu Ayu yang menyambut kedatangan mereka. Perempuan yang dipanggil Yangti—kependekan dari Eyang Uti oleh si kembar itu melambaikan tangannya senang. Senyumnya merekah. Sangat senang anak-anak serta cucu-cucunya sampai dengan selamat.
"Cucu Yangti."
Dari balik pintu batas ruang tamu dan ruang tengah, Eyang Putri—simbah buyut atau yang biasa dipanggil 'uyut' oleh Zau dan Zean ikut keluar. Bergabung menyambut kedatangan Jibran, Windy, dan kedua cicitnya dengan senyumnya yang teduh.
Jibran dan Windy menyusul. Mereka mencium tangan Bu Ayu dan Eyang Putri. Namun, setelahnya atensi kedua wanita berbeda usia itu teralih pada Zau dan Zean lagi. Windy dan Jibran sudah biasa. Setelah Zau dan Zean hadir, perhatian mereka sudah diambil sepenuhnya pada si twin itu.
"Uyut gimana, Ti?" tanya Jibran pada Bu Ayu. Pria itu tidak lupa membahasakan panggilan keluarga untuk anak-anaknya.
"Ada di kamar. Tapi, baru beberapa menit lalu tidur."
"Oh, ya udah. Nanti kalau udah bangun aja. Biar uyut istirahat," kata Jibran.
Jibran dan Windy pun masuk ke dalam rumah. Zean dan Zau mengikuti di belakang sambil digandeng Bu Ayu dan Eyang Putri.
"Yangti, punya dulian enggak?" ucap Zau tidak pernah lupa menanyakan hal itu setiap datang ke Jogja.
"Nanti cari ke tempat Mbah Tih, ya," ajak Bu Ayu.
Mbah Tih adalah panggilan Zau dan Zean untuk Budhe Ratih—ibu Putri si sepupu Jibran. Mbah diambil dai kata simbah yang berarti nenek.
Zau menyambungkan ujung jempol dan telunjuknya. "Oke, Yangti."
***
Windy dan Jibran sedang bersantai di ruang keluarga. Jibran merebahkan dirinya dirinya di sofa berbantalkan paha Windy. Laki-laki itu sibuk bermain ponsel sedangkan Windy menatap layar TV. Tangannya sesekali mengambil kacang untuk dinikmatinya.
Jogja atau lebih tepatnya Rumah Krisnobroto adalah surga dunia pasangan tersebut. Mereka seolah menjadi raja dan ratu di istana tersebut. Jibran dan Windy yang kesehariannya menjadi orang tua akan menjadi seperti pasangan yang belum memiliki anak karena Zau dan Zean akan diambil alih sepenuhnya oleh kakek dan neneknya.
Setelah menjenguk Eyang Krisnobroto, mereka diajak makan siang bersama Bu Ayu. Setelah kenyang, anak kembar itu pergi diajak jalan-jalan bersama Pak Dinar. Kemudian, di sore harinya, Zau dan Zean pergi ke rumah Budhe Ratih bersama Lintang dan Yafiq. Sesuai janji, Lintang pergi bersama Zau untuk mencari durian sedangkan Yafiq mengajak Zean untuk melihat koleksi ikan yang dimiliki Aziz—saudara sepupu Jibran yang sudah memiliki anak bernama Keenan.
"Mas, besok pulang sore, kan? Ikut ke nikahannya Ningsih."
Kalimat berunsur pertanyaan sekaligus pernyataan itu mampu mengejutkan Jibran dan Windy. Jibran menurunkan ponsel dan beralih menatap Bu Ayu.
"Ningsih udah mau nikah, Bu?"
Bu Ayu mengerutkan dahinya. Perempuan itu meletakkan potongan buah pir ke meja. "Loh, iya. Besok udah akad sama resepsinya. Kalian tadi enggak lewat depan rumahnya?"
Jibran menggeleng. "Enggak, Bu."
"Ibu kira, kalian ke sini juga mau datang ke nikahannya Ningsih."
Jibran bangun dari posisinya. Ia duduk lalu tangannya tergerak mengambil garpu mini. Ditusuknya satu potongan pir lalu dimakannya.
"Jibran malah baru tahu kalau Ningsih mau nikah, Bu."
"Enggak ada kabar di grup karangtaruna emangnya?"
Jibran menggeleng lagi. "Udah lama keluar. Lagian semenjak nikah, udah enggak join grup kepemudaan sini lagi."
Bu Ayu hanya mengangguk-angguk. Perempuan itu beranjak dari duduknya.
"Besok datang, ya. Sekalian wakilin Ibu sama Bapak aja. Bapak mau ketemu investor dari luar negeri. Udah janji, ya, masa tidak ditemui. Ibu ngurus Eyang Kakung di rumah."
"Kenapa enggak Ibu aja? Nanti biar Mas yang jaga Eyang."
"Lebih cocok kalian yang datang. Sekalian kamu lihatin diri kalau pulang. Biar enggak dikira lupa sama orang desa."
Ucap Bu Ayu lantas berlalu untuk kembali ke kamar Eyang Kakung—melihat kondisi sang ayah.
Jibran dan Windy saling bertukar pandang.
"Kita enggak bawa baju bagus, Mas," ucap Windy mengingatkan kembali pada suaminya bahwa mereka tidak menyiapkan apa-apa.
Baju pesta tidak masuk di dalam koper. Alat make up pun hanya sebagian kecil yang Windy bawa. Namun, Windy masih bisa mengakalinya agar bisa terlihat pas untuk pergi ke pesta pernikahan.
"Di almari ada baju batik enggak, sih?" tanya Windy mengingat-ingat kembali. Selanjutnya, perempuan itu segera beranjak menuju kamar Jibran.
Jibran mengambil piring berisi buah berwarna putih kekuningan itu kemudian menyusul Windy. Windy tiba-tiba berhenti dan memutar tubuhnya. Jibran sontak menghentikan langkahnya.
Wajah istrinya itu terlihat lebih terkejut. "Zean sama Zau, Mas! Baju mereka kaos semua!"
"Ya udah. Beli sekarang aja."
***
Windy dan Jibran pergi ke Butik Ndoro Ayu—butik milik ibu Jibran. Setelah mengatakan tujuannya kepada salah satu karyawan Ibu, Jibran dan Windy diberikan beberapa pilihan batik sarimbit yang bisa dipakai untuk mereka dan anak-anak.
"Yang coklat ini aja, deh, Mas," ucap Windy memberikan keputusan final setelah berpikir cukup lama.
Batik-batik Bu Ayu benar-benar menarik semua. Hal itu membuat Jibran dan Windy kesulitan untuk memilih. Hampir saja, Jibran membawa dua jenis baju. Namun, pada akhirnya, pilihan mereka jatuh pada batik sarimbit berwarna coklat.
Kualitas pakaian batik, desain baju, hingga keunikan yang dimiliki produk Butik Ndoro Ayu meningkatkan presentase marketing membuat Jibran hampir saja ikut termakan rencana mereka.
Windy dan Jibran beralih ke meja kasir. Walaupun Jibran berstatus sebagai anak pemilik butik, pria itu tetap melakukan pembayaran sebagai mana mestinya.
"Terima kasih, ya, Mbak," ucap Jibran pada Mbak Jik.
"Terima kasih kembali, Mas Jibran." Mbak Jik menyatukan telapak tangannya di dada. Senyum ramahnya tidak hilang sampai anak dan menantu bosnya itu keluar butik.
Jibran dan Windy sampai di parkiran. Sore itu, mereka pergi menggunakan motor matic milik Lintang. Windy memakai helm-nya. Jibran menyimpan belanjaan mereka di bawah jok motor lalu memasang helm hitam di kepalanya.
"Mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu?"
Windy menarik kedua sudut bibirnya. Diliriknya jam tangan yang masih menunjukkan pukul 16.29 WIB. Perempuan itu menoleh ke arah sang suami.
"Jalan-jalan, yuk, Mas. Mumpung lagi berdua."
Jibran ikut tersenyum. Ia pun naik ke motor dan mengaktifkan mesin kendaraan roda dua itu. Windy pun mendudukkan dirinya di belakang suaminya.
"Mau ke mana?"
"Pengin jajan."
Jibran memutar kunci motornya lalu menghidupkan mesinnya. Ia langsung mendapat tempat yang cocok sesuai keinginan istrinya. "Oke. Let's go."
Kedua tangan Windy melingkar di pinggang Jibran. Jibran pun segera pergi dari sana.
***
Bab selanjutnya keseruan Mas Jibran sama Mbak Windy kencan!