3

7.2K 420 3
                                    

Seminggu kemudian.....

Ning pulang sekolah ditemani Pandu. Mereka biasa pulang sekolah berjalan kaki seperti hari ini. Pandu walaupun rumahnya agak berlawanan, dia selalu mengantar dulu ke rumah Ning.

"Ah pokoknya nanti nek aku wis lulus aku mau ambil kuliah chef biar bisa punya restoran. Kowe piye, ndu?" Tanya Ning di perjalan pulang sambil mengemut es lilin di mulutnya

"Aku ya pasti ke kota, tapi nek aku punya biaya kuliah. Soalnya Ning tau sendiri tho adekku ada 3. Bapak ibu masih banyak harus keluarin biaya. Nek ndak ya paling bantu bapak di ladang atau bantu ibu jadi pengumpul daun teh." Ucap Pandu sambil menendang batu kecil di hadpaannya.

Ning iba, lalu dia memeluk Pandu tiba-tiba. Pandu kaget oleh perlakuan Ning terutama lengannya sekarang menekan sesuatu yang besar dan empuk membuatnya menahan napas dan meneguk ludah, yang memeluk santai saja.

"Ojo sedih yo, ndu. Tak doain biar dapet beasiswa mbuh darimana tapi pokoe temenku 1 ini sukses." Kata Ning lalu melepaskan pelukannya

Pandu mengehela napas lega.

"Iyo makasih Ning, tapi lain kali jangan asal peluk ya." Kata Pandu

Ning mengrenyit heran

"Lho kenapa?" Tanyanya heran

Pasalnya biasanya dia memeluk Pandu tiba-tiba dan temannya itu diam saja.

"Y-yaaa pokonya jangan. Aku kaget." Kata Pandu

"Ohh kaget. Eh aku dah sampe, ndu. Aku duluan ya." Kata Ning lalu masuk ke pekarangan rumahnya

"Ya." Pandu berbalik arah dan pulang menuju kerumahnya

Sampai di rumahnya, dia melihat suasana ramai, sepertinya ada tamu. Ada sebuah mobil hitam terpakir disana, juga mobil pembawa barang yang sedanb menurunkam barang-barang di rumah dinas. Ning melepas sepatu, dan memasuki rumahnya, ada orang tuanya, kedua kakaknya dan beberapa laki-laki disana sedang bercakap.

"Nah ini putri ketiga saya, baru pulang sekolah, namanya Ning." Ujar pak Hendra mengenalkan Ning pada tamu-tamunya.

Mereka memandang Ning dan dia balas melihat satu persatu lalu tersenyum lebar.

"Hai! Saya Ning." Kata Ning lalu menyalami para tamunya dengan cepat

"Pak, bu, Ning masuk dulu ya, harus masak bahan jualan soalnya." Kata Ning

"Yo wes." Kata Bu Retno

"Permisi ya mas mas." Kata Ning lalu masuk ke dalam.

Gani's POV

Gani seorang dokter muda yang baru saja lulus ujian negara, tak tahu mengapa dia memutuskan ingin bertugas di desa, walau ia tahu resiko dan cerita-cerita para dokter seniornya yang pernah menjalani kehidupan di desa atau pedalaman, ia tetap tak mengurungkan niatnya untuk bekerja disana.

Ia melihat berkas data yang diberikan padanya, desa yang ia datangi kali ini adalah desa Weningkinasih, yang menurut survey nya desa yang masih mempercayai mistis. Sebenarnya desa itu bisa berobat ke desa sebelah yang sudah memiliki puskesmas disana, tapi sebenarnya mereka agak kesusahan ketika mereka merasakan sakit di waktu malam. Yang memiliki kendaraan disana hanya beberapa orang, sisanya mereka hanya memiliki gerobak.

Gani adalah seorang anak dokter juga. Ayah ibunya bekerja di bidang yang sama dengan Gani, maka ia sangat tertarik dengan profesi itu, namun yang ada di pikiran pria itu bukanlah keuntungan tapi kemaksimalan pelayanan  juga pengabdian yang ingin ditunjukkannya, karena itu ketika semua bertanya perihal dirinya akan mengabdi di sebuah desa, mereka ragu dan sangsi terhadap keputusannya, lebih-lebih Gani adalah seorang dokter muda yang kaya, berperawakan tinggi dan berwajah ganteng. Mereka miris memikirkan kemungkinan masa depan Gani yang bisa saja sulit mendapatkan jodoh, padahal jodoh ada dimana saja khan.

"Sudah siap?" Tanya ayahnya pada Gani

"Siap pa." Kata Gani mantap, ia memasukkan barang terakhir ke dalam koper

"Yakin? Disana mungkin sinyal internet tidak selancar disini atau  mungkin tempatmu praktek nanti hanya sebuah rumah dinas kecil, tidur tidak ada ac dan banyak nyamuk." Ujar papanya menyangsikan anaknya

"Pa, Gani sudah berpikir matang. Apapun yang terjadi Gani akan coba, pasti di awal sulit tapi Gani akan berusaha."

Papanya menghela napas, rasanya tak tega melepas anaknya satu-satunya bekerja di desa, sendirian, tak ada relasi atau teman yang mungkin bisa dimintai tolong.

"Ya sudah, tapi jika kamu sudah menyerah, langsung hubungi papa. Papa akan segera mengirim orang untuk menjemputmu." Kata papanya sambil menepuk pundak anaknya itu dan berlalu.

Gani memandang kembali kamarnya, yang mungkin tidak akan ia tempati dalam waktu lama. Segala kenyamanan itu harus berani ia tinggalkan. Bagaimanapun, ia seorang dokter, ia ingin mengabdi pada negara. Ia tahu dengan reputasi orang tuanya ia bisa mendapatkan dengan mudah tempat praktek yang nyaman tanpa harus bersaing dengan dokter lainnya, namun bukan itu yang ia inginkan.

Gani lalu menuju ke teras, mobil hitamnya dan sebuah mobil pengangkut barang sudah siap.

"Gani, ada yang ketinggalan?" Tanya seorang wanita cantik di hadapannya

"Sepertinya sudah cukup, ma. Doakan Gani ya, supaya lancar semuanya." Kata Gani lalu memeluk mamanya erat

"Anak mama dulu masih kecil, sekarang sudah menjadi dokter muda yang ganteng. Hati-hati disana ya, nak." Ujar mamanya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Iya ma, Gani akan hati-hati." Kata Gani lalu mengurai pelukan dengan mamanya.

"Gani ayo, takut terlalu sore nanti perjalanan akan gelap darisana." Panggil papanya

Gani mengangguk lalu memeluk mamanya sekali lagi

"Gani berangkat ma."

Mamanya mencium kening anaknya itu dengan perasaan haru lalu melepasnya untuk masuk mobil dan menuju ke desa yang dimaksud.

Tresno Where stories live. Discover now