13. Sepasang Mata di Balik Jendela

14 4 5
                                    

"Pak Jojo masih ada, tidak?"

Pia memunculkan kepalanya dari bawah meja, mengedarkan pandangan untuk menyelidiki keberadaan satpam penjaga sekolah yang beberapa menit lalu berkeliling untuk memastikan lampu kelas. "Kelihatannya sudah tidak ada."

Tasya mengembuskan napas lega. Sudah satu jam mereka menyembunyikan diri sejak gerbang sekolah ditutup. Sekarang tiga remaja itu bisa memulai rencana mereka.

Pukul tujuh malam. Langit belum terlalu gelap. Bukan waktu yang ideal untuk melakukan ritual pemanggilan arwah. Namun, Pia tidak punya pilihan lain. Mereka tidak bisa pulang terlalu larut. Berbahaya. Orang tua mereka bisa khawatir, apalagi sejak kematian Lion.

"Aku ke toilet dulu, ya," ujar Tasya, meringis. "Sumpah, sudah tidak kuat banget dari tadi."

Pia mengizinkan. "Mau aku temani?" tanyanya.

Akan tetapi, Tasya menolak. "Tidak perlu," katanya. "Kamu persiapkan ritualnya saja. Aku tidak lama, kok."

"Kamu yakin?"

Tasya mengangguk, merapatkan cardigan birunya, menyalakan senter ponsel, lalu segera bergegas pergi ke toilet yang berada di ujung lorong. Angin malam berembus pelan. Gelap. Sekeliling sekolah saat malam rasanya sangat berbeda jika dibandingkan dengan waktu siang. Kelas yang penuh dengan bangku-bangku kosong, pohon dan tanaman yang disinari cahaya bulan. Rasanya seperti berada di dimensi lain. Dunia yang seharusnya tidak pernah mereka masuki.

Di kelas, Pia mempersiapkan ritual. Gadis berbando merah itu menata cermin, lilin, dan boneka di atas meja paling tengah.

"Radit, kamu punya korek?" Pia bertanya, menatap Radit yang sedang melamun di dekat jendela. "Sepertinya aku lupa tidak bawa korek deh tadi."

Beberapa saat, tidak ada jawaban. Hening. Radit pun masih tetap berdiri diam di tempatnya.

"Hei, Radit!" Pia sedikit menaikkan volume suaranya. Kaki kurusnya melangkah, mendekati Radit. "Kamu lagi apa sih?! Melamun?"

Radit akhirnya menoleh ketika menyadari keberadaan Pia. "Eh, tidak. Cuma...."

"Cuma apa?"

Radit mengacungkan telunjuknya ke luar jendela, lebih tepatnya ke arah jalan raya depan gerbang sekolah. "Kau tadi lihat ada orang di sana, tidak?"

"Orang?" Mencelinguk ke arah yang di tunjuk Radit. Jauh. Gelap. Tidak ada orang di sana. "Di sebelah mana, sih?"

"Itu di belakang pohon."

Pia menyipitkan mata, memfokuskan pandangannya lebih jauh. Hasilnya tetap. "Kamu ini mau takut-takutin aku ya, Radit?"

Radit tidak menjawab. Anak laki-laki berambut acak-acakan itu masih menatap ke luar jendela, mengamati area yang sama.

"Jelas-jelas tidak ada siapa-siapa, kok."

"Tadi ada."

"Siapa?"

"...."

"Mungkin itu cuma perasaanmu saja." Pia berbalik, lalu menepuk pundak Radit. "Daripada kamu terus melamun seperti itu, mending kamu bantu aku menyalakan lili...."

Pia seketika tertegun. tubuhnya kaku dan rasanya seperti membeku. Gadis berbando merah itu tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Siluet itu. Rambut panjang itu. Mata yang menyala dalam kegelapan itu.... Tidak salah lagi.

"Maya...."

Gadis penyihir itu ada di sana, mengintip dari balik pintu kelas yang setengah terbuka. Mata iblisnya....

"Radit, Radit, Radit. Ada dia. Ada dia."

Radit yang baru saja berbalik dari jendela luar, tentu saja tidak mengerti dengan apa yang Pia ributkan.

KUTUKAN ATAU PEMBUNUHAN?Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon