BAB 1 : Dari Hingar-bingar Jakarta ke Kenyamanan Cimahi

65 22 19
                                    

Awan perlahan menipis, memperlihatkan belahan biru langit yang hangat

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Awan perlahan menipis, memperlihatkan belahan biru langit yang hangat. Jam sembilan pagi, matahari belum terlalu panas, meskipun bulir-bulir keringat mulai membasahi kulit mereka.

Sebuah mobil hitam meluncur keluar dari kota Magelang. Justitia Abimanyu memandang lurus ke depan sambil mengemudi dengan santai, sesekali melempar pandangan ke arah wajah sang tunangan. Abimanyu adalah lelaki tampan dengan campuran Thai dan Jawa. Dia sering disebut Chindo, terutama saat tertawa lepas yang menyisakan sebaris mata.

Abimanyu senang melihat mata Juni yang begitu indah. Mata perempuan itu seperti panggung perasaan, memperlihatkan segala ekspresi hatinya. Dia selalu bisa merasakan ketika Juni sedang sedih, senang, atau saat dia menginginkan keintiman.

Mereka baru saja bertunangan pada bulan tiga dan merayakannya dengan suasana yang sederhana namun meriah. Pesta pertunangan mereka diadakan di Hotel Puri Asri, karena Juni ingin merasakan momen spesial itu dengan konsep yang bernuansa resor.

Abimanyu menempuh pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Malang, sebuah kota yang kaya akan budaya. Keputusannya untuk menjauh dari Jakarta didasari oleh keinginannya untuk menikmati kota yang bersih dari polusi.

Meskipun perjalanan dari Magelang menuju Cimahi memakan waktu 5 jam, rasa kelelahan tidak mengurangi semangat mereka. Abimanyu merasa bersyukur karena Juni memiliki banyak kesamaan keinginan dengannya, termasuk keinginan untuk tinggal di Jakarta.

Namun, di tengah perjalanan mereka, sebuah pemandangan menarik menarik perhatian mereka. Di sisi jalan terdapat sebuah lapangan luas yang dikelilingi oleh pepohonan hijau. Mereka memutuskan untuk berhenti sejenak dan menikmati udara segar sambil berjalan-jalan di sekitar lapangan tersebut.

Di sana, mereka bertemu dengan seorang tua yang sedang duduk di bawah pohon mangga tua, sambil memetik buah mangga yang jatuh. Tertarik dengan kegiatan sang tua, mereka pun memutuskan untuk menghampirinya dan berbincang-bincang tentang kehidupan di desa tersebut.

Jakarta, kota impian banyak orang, tetapi Jawa Barat tampaknya menawarkan masa depan yang lebih menjanjikan bagi mereka. Jakarta sudah terlalu kacau. Kemacetan yang tak berujung membuat orang semakin enggan meninggalkan rumah. Mereka telah muak dengan semua liputan politik yang menyilaukan karena sibuk diperdebatkan.

Pertemuan Abimanyu dan Juni memberikan kenangan yang tak terlupakan. Itu terjadi saat mereka menghadiri sebuah seminar tentang kebahasaan di Malang, bekerja sama dengan universitas lain. Abimanyu duduk di sebelah kiri, dekat dengan sang pemateri, sementara Juni berdiri di belakang kamera, memotret acara tersebut.

Jepretan kecil dari kamera Juni membuat Abimanyu tersadar bahwa dirinya telah tertangkap dalam sebuah foto. Juni tersenyum melihat hasil jepretan itu. Baginya, itu adalah kali pertama dia mendapatkan gambaran wajah Abimanyu yang selama ini dia idamkan.

Seiring berjalannya waktu, Abimanyu dan Juni semakin sering berkomunikasi. Mereka menemukan banyak kesamaan minat dan pandangan hidup, membuat ikatan antara mereka semakin kuat. Setiap hari, mereka saling bertukar cerita dan pengalaman, membangun hubungan yang semakin dalam dan berarti.

Botol teh dengan aroma yang mengingatkan pada pedesaan di Jawa menjadi minuman wajib ketika Abimanyu dan Juni bersama. Ini menjadi semacam ritual kecil mereka, sebuah kenangan yang terjalin ketika mereka pertama kali bertemu dalam sebuah seminar. Jika tidak karena kebetulan dipertemukan dalam seminar yang sama, mungkin botol teh itu tidak akan memiliki makna spesial di antara keduanya.

Meskipun Juni bukan berasal dari Jurusan Bahasa, minatnya terhadap membaca jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Abimanyu, yang merupakan seorang penulis. Namun, minat yang berbeda ini justru memperkaya hubungan mereka. Mereka sering berbagi pendapat tentang buku-buku yang mereka baca, membahas ide-ide dan sudut pandang yang berbeda.

Abimanyu sering kali mendapat kritik langsung dari pembaca atas tulisannya, sementara Juni, sebagai seorang fotografer, sering mendapatkan buku secara gratis untuk ditinjau. Hal ini membuka ruang bagi mereka untuk memahami satu sama lain dengan lebih baik, serta menambah warna dalam perbincangan mereka.

Setelah menyelesaikan kuliah, Abimanyu memutuskan untuk fokus pada bidang penerbitan di Singapura, sementara Juni memilih untuk melanjutkan pendidikan seni rupa di Magelang. Meskipun terpisah oleh jarak yang cukup jauh, hubungan mereka tetap kuat dan baik, dipelihara melalui komunikasi yang teratur dan pengertian satu sama lain.

Ketika keduanya akhirnya bertemu kembali setelah beberapa tahun berpisah, mereka secara bersama-sama memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke tahap berikutnya dengan melakukan pertunangan setelah menyelesaikan studi masing-masing.

Bagi Juni, satu hal yang tidak pernah diragukan adalah kebutuhan akan komunikasi yang jujur dan terbuka di dalam hubungan mereka. Mereka selalu berusaha untuk membicarakan segala hal secara terbuka, tanpa menyembunyikan apapun dari satu sama lain.

Kejujuran adalah landasan utama dalam hubungan mereka, dan tidak pernah membuat mereka merasa tersinggung. Keduanya memiliki sifat yang sama-sama pragmatis dan objektif, yang membuat mereka mampu menangani masalah dan konflik dengan kedewasaan dan pemahaman. Namun, ketika berbicara tentang pekerjaan dan profesi mereka, keduanya menjadi perfeksionis yang tidak kenal lelah. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan dan gaya kerja mereka, mereka mampu menemukan kesimbangan dan kontras yang membuat mereka semakin yakin akan langkah mereka ke masa depan yang bersama.

"Juni, sepertinya keputusan kita memang tepat untuk pergi jauh dari Jakarta," ucap Abimanyu sambil melepaskan napas lega. Meskipun perjalanan mereka masih satu jam lagi.

"Tidak ada macet dan polusi di sini," Juni menanggapi sambil menatap wajah Abimanyu dengan lembut.

"Tidak ada bundamu juga," goda Abimanyu dengan senyuman jahil.

"Dan tidak ada juga ibumu, Abi," balas Juni dengan nada yang penuh keakraban.

"Pernikahan kita nanti akan memberikan udara segar di Cimahi. Meskipun kita pernah tinggal di Malang selama kuliah," tambah Abimanyu sambil tertawa, matanya masih fokus pada jalan di depan. Mereka memilih jalur yang aman namun tidak terlalu sepi.

Hujan turun dengan deras saat mereka semakin mendekati kota Cimahi. Juni menyarankan untuk mampir ke warung terlebih dahulu untuk makan.

Warung Sop Iga Bu Siti terkenal dengan menu sop iga mereka yang lezat. Mereka ditemani dengan lauk tambahan seperti perkedel, empal, telur rebus, kerupuk, dan sop ayam lainnya.

Abimanyu ingin memesan teh, tetapi Juni menolak dan menganjurkannya untuk minum jus jeruk peras karena masih dalam perjalanan. Mbok Jum, pemilik warung, hanya tersenyum kecil melihat interaksi sepasang tunangan di depannya.

Meskipun warung terlihat sepi dari luar, namun begitu mereka masuk ke dalam, suasana menjadi ramai. Banyak pelanggan yang memilih untuk duduk di dalam, menikmati hidangan mereka.

Juni terkesan dengan kelezatan sop iga Bu Siti. Rasanya sangat menghangatkan perut di tengah hujan deras. Sementara Abimanyu yang baru saja menyelesaikan semangkuk sop, memutuskan untuk mengecek kembali foto rumah yang akan mereka tinggali.

"Rumah ini seperti rumah peninggalan Belanda."

"Kamu berbicara tentang rumah peninggalan Belanda?" tanya Juni, penasaran.

"Kamu berbicara tentang rumah peninggalan Belanda?" tanya Juni, penasaran

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
Nirmala : Gamelan Ayu Banowati [End✓]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt