2

50 2 4
                                    

Sejak saat itu, aku dan Lu Feng menjadi akrab. Dua orang yang sudah saling menyadari kalau orang lain tidak seburuk yang kita kira, namun sebenarnya bisa dianggap suatu masalah itu menjadi lucu, akhirnya dengan cepat hubungan yang mendalam itupun semakin berkembang. Awalnya aku pikir kami berbeda, dan kemudian secara bertahap bisa saling menerima, terkadang Lu Feng suka titip absen, dan akupun mulai bisa mengeluarkan bahasa yang tidak baik.

Tidak lama setelah hubungan kami stabil, Lu Feng mulai berani mengeritikku.

"Kamu terlihat jelek dengan kacamata ini, malah seperti jamur".

Sial, kalau aku balas kamu akan semakin menjadi-jadi.

"bukan urusanmu".

"Tapi ini sangat jelek".

"Tulis esainya sendiri, tidak peduli seberapa bertele-telenya".

Saat itu, aku sedang asyik menulis esai untuk si pecundang malas yang berada di sebelahku ini dengan imbalan kaki ayam rebus yang terkenal di kantin.

Topik esainya adalah 'Pendapatku Tentang Kecurangan'. Jika lomba esai sekolah mendapat naskah yang terkumpul kurang memenuhi syarat, maka setiap kelas akan diberikan kuota yang sudah ditetapkan. Seperti merekrut generasi muda saja.

Aku dan Lu Feng sama-sama mendapat tema yang sama. Bagusnya, dia tersenyum lepas ketika mendengar namaku, dia tahu apa yang harus dilakukan, sementara aku hanya tersenyum jahat.

Kelebihan Lu Feng ada dalam matematika, fisika dan kimia, sementara kemampuan berbahasanya sangat buruk, saking buruknya bisa membuat orang menangis. Sulit dipercaya kalau dia orang Tionghoa, apalagi setengah Amerika. Katanya saat ujian masuk SMA mengalir spontan saja sesuai kesadaran, yang disebut mengalir sesuai kesadaran berarti menulis apa yang dilihatnya, misalnya burung terbang di dekat jendela, gadis di barisan depan dengan rok pendeknya sampai paha, dan sebagainya. Dia hampir tidak bisa merangkai kata-kata menjadi puisi impresionistik dengan kemungkinan lolos yang tidak mungkin...

Pada akhirnya dia mendapat nilai yang lumayan tinggi, mungkin karena gurunya terpana dengan kalimat awal dan akhir yang penuh keanehan. Atau mungkin juga tangan Lu Feng memilih satu per satu karakter yang lebih bagus dari contekannya, yang mana bisa memengaruhi nilai impresifnya.

Namun, jika keberuntungan terjadi berulang kali, itu bukan lagi disebut mukjizat. Oleh karena itu, kemampuan Lu Feng selalu menyedihkan jika ada soal seperti itu. Dilihat dari sudut manapun, itu hanya setara dengan siswa Sekolah Dasar. Memberinya nilai kelulusan juga mungkin karena rasa kasihan.
Walaupun nilaiku tidak tinggi, itu karena bakatku yang tidak dihargai dan gaya bahasaku yang tidak lazim, jika dibandingkan dengan orang jahat seperti itu jelas aku tidak setara. Lu Feng sepertinya sudah paham tentang hal ini, buktinya dia sudah membelikanku kaki ayam di dalam kotak makan siang dan menaruhnya di depanku sebagai penyemangat. Pada saat yang sama, dia mengipasiku dengan kipas angin. (padahal saat itu akhir November ketika sweter sangat diperlukan).

Artikel yang saya tulis tentang 'mengikuti aturan' sepenuhnya tentang gambaran seorang pemuda baik yang dipermalukan oleh masyarakat. Perlakuan yang tidak sehat di ruang ujian, dan akhirnya membuat permohonan yang mendalam dan tulus.

"Sebagai siswa saat memberikan penyuluhan kepada masyarakat itu harus bisa belajar dasar-dasar yang baik dan tidak boleh berbuat curang!".

Ketika membahas untuk orang lain, untuk Lu Feng misalnya, aku langsung berdiri dan mulai berbicara dengan lantang, mengeritik kekurangan sistem pendidikan saat ini.

"Apa yang ada itu wajar. Ketika perilaku mencontek sudah berubah menjadi kebiasaan, dari imajinasi menjadi kebiasaan, kita harus bisa menelaahnya lebih lanjut atas kewajarannya itu...".

DUA JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang