Saat itu Lu Feng berkata, "Temui aku lagi jiga pikiranmu sudah tenang".

Aku tidak bisa tenang, jadi aku tidak pernah menemuinya lagi, tapi aku benar-benar tidak bisa melarikan diri. Kamu harus percaya padaku tentang ini.

Efisiensi dan kualitas belajarku anjlok. Kemarin aku membuat lima kesalahan dalam soal membaca bahasa Inggris, padahal sebelumnya selalu mendapat nilai penuh. Aku sangat terkejut, aku duduk dengan putus asa untuk mengevaluasi apa yang salah hingga menyebabkan nilaiku menurun.

Apakah kurang tidur dapat mempengaruhi daya berpikir? Hati yang buruk mungkinkah menyebabkan kualitas jadi turun? Atau apakah karena dari polusi udara sehingga mengurangi pasokan oksigen ke otak?

Semua tidak ada hubungannya dengan orang itu, sama sekali tidak ada hubungannya.

"Lu Feng, kamu datang!". Seseorang berteriak dari koridor di luar pintu.

Aku sangat terkejut, dan itu membuatku melihat sekeliling, mencari celah untuk bisa bersembunyi. Lemari? kotak? laci?

Di tengah kepanikan, pintu terbuka dengan keras. Aku segera duduk berpura-pura mengerjakan tugas.

"Xiaochen, aku datang". Suaranya terdengar cukup bahagia.

"Oh, mmm". Aku menundukkan kepala, pura-pura sibuk menulis.

"Kamu sedang sibuk mengerjakan PR-mu".

"Mmm, iya".

"Kalau begitu aku tidak akan mengganggu".

"Mmm, baik". Aku menghela napas lega.

"Xiaochen, bukumu terbalik".

"Oya?". Aku refleks membalikkan buku pelajaran yang ada di tanganku. Aku coba lihat lebih dekat lagi. Hah? Kenapa bisa terbalik sih.

Senyum di wajah Lu Feng menghilang, dia meletakkan tas sekolahnya dan duduk di tepi tempat tidur. "Kemarilah".

Aku menggigit bibirku sambil bergerak maju selangkah demi selangkah.

"Duduk".

Saat itu aku begitu patuh mengikuti perintahnya.

Seperti biasa, preman itu mengaitkan tangannya di bahuku, seketika leherku langsung menciut seperti kura-kura karena kaget.

"Apakah kamu takut padaku?!".

Aku yang ketakutan langsung menggelengkan kepala dengan kuat.

Lu Feng mengerutkan kening, meraihku dan memutar tubuhku menghadapinya. "Sini, lihat aku. Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu, kamu hanya perlu menjawab iya atau tidak".

Aku menatapnya dengan mata terbelalak, tidak berani bergerak.

"Apa kejadian pada waktu itu membuatmu jijik?".

Aku menggelengkan kepala.

"Apa kamu senang bersamaku?".

Aku mengangguk.

"Apa kamu senang aku punya pacar?".

Aku menggelengkan kepalaku.

"Apa kamu khawatir saat aku terluka?".

Aku mengangguk.

"Apa kamu suka bersamaku?".

Aku mengangguk.

"Apa kamu paling suka bersamaku?".

Aku mengangguk.

Dia menunjukkan ekspresi sangat puas, suaranya melembut. "Kalau begitu, ciumanku, terasa nyaman?".

Wajahku memerah dan membeku di sana.

"Jujur!".

Butuh waktu yang lama Lu Feng untuk menundukkan kepalanya.

"Jadi… kamu juga menyukaiku, kan?".

Setelah merasa malu untuk waktu yang lama, aku mengangguk lagi.

"Itu bagus".

"Lu Feng". Aku berkata dengan susah payah. "Aku laki-laki".

"Omong kosong, semua orang juga tahu".

"Laki-laki menyukai laki-laki... Itu... Cabul".

"Maksudmu aku cabul?".

"Tidak, bukan...". Kataku dengan kikuk. "Kamu sangat baik... Tapi kita laki-laki...".

"Dari mana datangnya semua omong kosong itu".

Dia mencubit gemas daguku. "Kita yang sedang jatuh cinta, alangkah baiknya jika kita bersama, jangan pedulikan omongan orang lain".

"Siapa, siapa yang jatuh cinta kepadamu?". Tolong jangan langsung mengambil kesimpulan yang aneh.

Dia menundukkan kepalanya, untuk mencium bibirku.

"Jangan....... Mmm ──────────".

"Aku hanya menyukaimu, salahkah?". ​​Ucapnya sambil mendekatkan bibirnya ke telingaku.

Tidak ada yang salah dengan itu. Akhirnya aku tidak menolaknya.

DUA JALANWhere stories live. Discover now