Seperti yang biasa terjadi pada anak sekolah, saat ini di kelas ada seseorang yang meniru sosok Lei Feng untuk membantu temannya, berinisiatif mengerjakan tugas, mengambil alih tugas, sampai mengantar siswa cacat kemanapun termasuk pindah kelas, tidak peduli dia harus melewati gunung, menerjang hujan maupun panas.

Tentu saja, Lei Feng yang masih hidup itu adalah Lu Feng.

[雷锋 Léi Fēng, seorang Pahlawan Nasional Tiongkok di era Mao Zedong]

Dia menggendongku ke kelas, awalnya aku menolak karena tidak mau masuk sekolah dengan alasan sakit. Jatuh disaat bermain es skating itu sebuah hal yang sangat memalukan. Aku tidak punya wajah lagi jika harus bersama dengan seseorang yang seperti pahlawan sementara aku hanya bisa menemplok di punggungnya selama itu, Lu Feng yang dianggap panutan dan berkelas tinggi melakukan hal itu benar-benar menarik perhatian semua orang.

Saat itu hampir akhir semester, dan banyak tugas penting yang harus dikumpulkan. Hasilnya setiap hari Lu Feng harus menjadi portir yang sigap, setiap hari harus membawaku seperti kurir yang sedang mengangkut barang.

Jarak dari asrama ke gedung sekolah tidak begitu jauh, masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Lu Feng yang memang terbiasa menjadi tuan muda, dia tidak tahu bagaimana harus menunggu orang lain. Akibatnya dia akan menggendongku dengan kasar, dia juga sering melemparku dengan keras ke tempat tidur dan itu membuatku menangis, atau dia membantuku duduk di tempat tidur, tidak sadar kalau dia telah membenturkanku ke dinding sudut tangga.

"Dasar gila, dikira dia sedang membawa karung pasir".

Aku mengeluh sambil menangis, menghitung memar di badanku yang entah datang dari akibat apa lagi.

Lu Feng bertanggungjawab, dia mengoleskan obat, dan hampir semua tubuhku disentuhnya.

----------

"Ini pertama kalinya punggungku digunakan. Awalnya punggungku ini hanya untuk menggendong wanita cantik. Tapi ya sudah lah untukmu tidak apa-apa".

"Hei, jangan melihat orang dari fisik ya? Meski aku bukan wanita cantik, setidaknya aku pria pintar".

"Cepat, buka mulutmu". Lu Feng membuka kotak makan siang. Dia membelikanku makan satu hari tiga kali.

"...".

Dengan canggung aku memiringkan kepalaku untuk menghindari sendok suapan darinya, "Aku tidak stroke, hanya terkilir kaki. Kenapa kamu harus menyuapiku?".

"Berhentilah bertele-tele, buka mulutmu".

"Tidak mau!".

Sayangnya, karena dia cekatan dan kuat, daguku dipegangnya dan memasukkan sendok itu ke dalam mulutku.

Aku tahu, cara makanku jelek, jadi kamu tidak perlu terus-terusan menatap mulutku.

Huhu. Saya merasa ingin menangis tanpa air mata, ketika dia selesai menyuapiku. Dia masih harus menyeka mulutku, sungguh pelayanan yang sempurna.

"… Sudah selesai belum mengelapnya?".

Bibirku terasa panas, serasa kulitnya hampir terkelupas.

"Sebentar, di sini masih ada sedikit kotor".

Usap ya usap saja, kamu tidak rabun, kenapa wajahmu begitu dekat?

----------

Saat musim liburan akan segera tiba, setumpuk surat cinta di meja Lu Feng.

"Ckckck... Benar-benar tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya tentangmu. Mereka tidak peduli dengan pria sederhana sepertiku, mereka malah jatuh cinta kepada orang sepertimu". Bukannya aku cemburu.

"Kamu cemburu".

Seperti terhantam sepuluh pukulan. Aku memandangnya dengan sedih.

"Apakah kamu belum pernah ditembak oleh seorang gadis?".

"Memangnya kenapa?". Aku dengan marah berkata, "Aku bersamamu sepanjang hari. Auramu begitu besar sehingga menghalangi cahayaku, jadi bagaimana bisa mereka menemukanku? Tidak, nanti aku akan menjauh darimu. Mau jaga jarak".

Pada dasarnya aku memang tidak begitu mencolok, dan ketika aku bersama Lu Feng, aku merasa seperti hampir menghilang karena pancaran cahayanya, dan akhirnya para gadis tidak bisa melihatku.

"Kamu berani!".

Dia tiba-tiba terdengar galak. Aku jadi  merasa gugup dan takut saat dia menggerakan kepalanya.

"Tidak berani, tidak berani".

"Xiaochen".

Seperti biasa, Lu Feng selalu merangkul bahuku ketika duduk di sampingku.

"Kamu mau punya pacar?".

"Tentu saja...". Aku segera berkata pelan ketika aku dipelototi. "Eh tidak...".

Aku belum mencapai usia puber, dan aku belum memiliki hasrat terhadap lawan jenis. Menurutku menjadi rebutan para gadis bukanlah hal istimewa, itu justru lebih mengarah kepada kepuasan diri dan kesombongan.

"Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan? Selama aku belum punya pacar, kamu tidak boleh jatuh cinta pada gadis manapun".

Kedengarannya seperti kesepakatan yang tidak adil, tapi kenyataannya pria seperti Lu Feng yang tidak peduli dengan wanita, tapi banyak pengagum sebagai sandaran. Aku jadi khawatir sebelum aku bisa memegang tangan seorang gadis, dia sudah ada yang memeluk kakinya sambil memanggil ayah.

Dengan Acuh tak Acuh, aku mengangguk. Lu Feng tersenyum, lalu meremas semua surat-surat itu dan melemparkannya ke tempat sampah tanpa melihatnya.

DUA JALANWhere stories live. Discover now