"Bagaimana nak, sudah lebih baik?"
Saat ini Falea sedang ada di ruang guru bersama guru yang tidak Falea tahu namanya, tapi dengar-dengar guru ini merupakan guru matematika kelas 11. Di genggaman Falea ada sebuah teh camomile hangat yang masih mengepul. Tatapan Falea kosong ke depan, ia merasa jiwanya masih tertinggal entah dimana. Rasa shock ini begitu mengguncangnya. Falea ingin menangis, tetapi rasanya tidak bisa. Semuanya tertahan di dadanya dan menimbulkan sesak.
"Ibu dengar kamu punya asma, ya? Mau ibu ambilkan obatmu?"
Falea tidak membalas apapun, pikirannya masing kosong. Ia kembali teringat Arash yang datang menyelamatkannya tadi, wajah sebelah kiri Arash terluka terkena sayatan pisau hingga mengelurkan darah.
Saat dii tempat kejadian tadi, Arash langsung menghentikan kegilaan Isabella dengan mencengkram tangan Isabella dan membuang pisau itu jauh dari jangkauan. Setelah itu Isabella langsung diamankan dan dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulance yang sudah menunggu di bawah. Isabella sampai-sampai harus diberi obat penenang untuk menghentikan aksi kegilaan gadis itu. Pihak keluarga Isabella pun langsung datang ke rumah sakit milik keluarga Aiden.
Sedangkan Arash, saat Isabella sudah diamankan guru, laki-laki tinggi itu langsung pergi begitu saja tanpa peduli luka yang ada di wajahnya. Para guru tampak tidak peduli dengan luka Arash, mereka justru membawa Falea yang masih sangat shock. Kenapa mereka begitu pada Arash? Apa mereka tidak tahu Arash lah anak dari pemilik sekolah ini? Sebegitu misteriusnya 'kah Arash di sini?
"Falea?"
Lamunan Falea terhenti saat guru tadi kembali memanggilnya. Falea menoleh pelan.
"Kamu gak apa-apa?" tanyanya lagi.
"Saya butuh kotak P3K." ujar Falea serak.
"Kamu terluka? Sebentar ibu ambilkan dulu." guru matematika itu lantas beringsut menuju ujung ruang dan mengambil kotak P3K yang terdapat di lemari, lalu diberikannya pada Falea.
"Terima kasih, Bu."
Falea lantas berlari menuju kelasnya di lantai empat--mencari Arash. Gadis itu tidak mempedulikan panggilan gurunya yang memanggilnya khawatir, yang ada di kepalanya saat ini hanya Arash. Ya, Arash.
"Ck! Angkat dong!" Falea berdecak kesal saat panggilannya tidak kunjung diangkat, bunyi bip hanya terus berbunyi konstan tanpa adanya jawaban. Falea berulang kali menghubungkan panggilan, namun Arash tetap tidak mengangkatnya. Hati Falea rasanya berat, tidak enak, dan rasanya Falea ingin menangis keras. Lagi-lagi ia tidak bisa mengekspresikan itu.
Falea naik menuju atap gedung barat yang biasanya menjadi tempat Arash menghabiskan waktu sendirian. Falea sangat berharap Arash ada di sana.
"Kenapa gak angkat telepon gue?!" Falea berteriak frustasi. Napasnya memburu karena berlari ke sana kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Now, It's Your Turn! [ON GOING]
Teen Fiction(Ghost series #5) Mendaftar ke sekolah baru sepertinya bukan pilihan yang tepat. Masa SMA-nya yang hanya tinggal sisa setahun menjadi berantakan akibat kegilaan di luar nalar sekolah elite itu. Namun, apalah daya Falea Binara, seorang anak tunggal y...