BAB 4 : Ayu Banowati

21 7 5
                                    

Dalam keheningan malam yang sunyi, bulan sabit menyorot dengan lembut di langit gelap, menyinari kelahiran seorang bayi perempuan yang istimewa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dalam keheningan malam yang sunyi, bulan sabit menyorot dengan lembut di langit gelap, menyinari kelahiran seorang bayi perempuan yang istimewa. Di rumah sakit kecil di pinggiran kota, keluarga Banowati menyambut kedatanganku dengan sukacita yang memenuhi ruangan.

Nirmala Ayu Banowati, begitu mereka beri nama untukku, bayi kecil yang lahir dengan sempurna pada malam itu. Dengan berat 2,7 kg, tubuhku yang kecil membawa harapan dan kebahagiaan yang besar bagi keluarga. Kecantikan alami Ayu Banowati segera terpancar dari wajah yang lembut dan mata yang berbinar.

Banowati memiliki arti yang dalam. Sebuah harapan tersemat di dalam nama tersebut, yang melambangkan kecantikan yang tak terkalahkan.

Semakin aku beranjak remaja, banyak yang mengatakan kecantikanku semakin terpancar. Wajahku berparas cantik menjadi sorotan saat pergi. Namun, kecantikanku tidak hanya terlihat dari luar, tetapi juga dari sikapku yang baik dan kepribadian yang ramah. Aku menyadarinya.

Ayah sambungku yang memiliki darah Belanda berusaha membelikanku sebuah rumah untuk bisa pindah dari rumah lama demi menyingkirkan kenangan buruk soal ayah kandungku.

Rumah Raden Mas Arya Wiratama–atau nama Belandanya, Arya Van Blommestein dibangun cukup megah untuk kedatanganku dan menjadi tempat tinggal sejak aku kecil. Tembok dengan nuansa keraton, bahkan pendopo yang menjadi impian ibu dan juga warisan kepadaku.

Meski, rumah ala Belanda, interior rumah ini memiliki konsep campuran Van Blommestein dengan Keraton Wiratama. Pendopo di belakang rumah menjadi tempat menjamu tamu. Luas dan nyaman. Dengan kursi dan meja, menjadi sepasang interior pemecah gema.

Tidak hanya itu, anak-anak ayah Wiratama juga selalu berkumpul dengan aku yang sebagai saudara termuda. Tentu, aku berbeda dengan mereka yang memiliki kulit putih dengan pipi kemerahan, sungguh indah melihat mereka berbalut pakaian Keraton.

Tidak jarang tatapan mereka sedikit menunjukkan rasa tidak suka, karena aku lebih cantik dengan pakaian Keraton. Saat itu aku masih anak-anak tidak tahu harus berbuat sesuatu. Ayah Wiratama memberikan sebuah kejutan, di saat aku belajar menari. Sebuah interior gamelan. Lengkap dengan musik pendukung lainnya.

Namun, ini bukan hanya awal yang bahagia untukku, kisah pedihku juga dimulai. Sudah dari awal aku merasakan keanehan dalam rumah ini. Ada aura misteri yang terasa di sudut-sudutnya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di balik keindahan yang tampak.

Aku mulai merasa bahwa tidak semua yang kulihat di rumah ini adalah seperti yang terlihat. Ada perasaan aneh yang merayap di hatiku, seakan-akan ada rahasia besar yang disembunyikan oleh keluargaku sendiri. Tetapi, aku belum bisa memastikannya.

Dengan kejadian-kejadian aneh yang mulai terjadi di rumah ini, aku semakin merasa terisolasi dan tidak aman. Aku merindukan kehangatan dan kedamaian yang pernah kurasakan di masa kecilku. Tetapi, entah mengapa, semuanya tampak semakin jauh dari jangkauanku.

Duduk sendirian di pendopo, aku merenung di bawah sinar bulan sabit yang melintas di langit malam. Pikiranku melayang ke masa depan yang belum terjamah, sementara aku masih remaja dengan perjalanan hidup yang panjang di depan mata. Akan bertahun-tahun lamanya aku tinggal di sini, di rumah ini yang penuh dengan misteri.

Selendang masih tergantung di leherku, mengingatkan akan latihan menari di malam, di tengah hembusan angin yang dingin. Suara langkah yang menghentikan lamunanku, aku menoleh dan melihat saudara tiriku mendekat. Dia memiliki pesona yang menawan, meskipun aku tidak pernah yakin apakah dia benar-benar baik padaku atau sebaliknya.

"Bolehkah aku memainkan gamelan untukmu saat kamu menari?" tawarnya tiba-tiba, membuatku terdiam.

Aku merasa bingung, tidak yakin bagaimana harus menjawab. Rasanya aneh, ada firasat yang tidak nyaman menyelinap di dalam hatiku, namun aku tidak bisa menolak tawarannya begitu saja.

Nirmala : Gamelan Ayu Banowati [End✓]Where stories live. Discover now