iv. aku selalu di tempat penuh kesalahpahaman

457 73 75
                                    

N A R A S I
Sesuatu yang di dambakan
itu tidak di peruntukkan
untuk ku.

Dari pukul satu dini hari sampai pukul lima sore, sebanyak itulah waktu yang Halilintar gunakan hanya untuk duduk malas di ruangan berwarna putih gading

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dari pukul satu dini hari sampai pukul lima sore, sebanyak itulah waktu yang Halilintar gunakan hanya untuk duduk malas di ruangan berwarna putih gading. Interiornya minimalis. Tidak ada yang mencolok. Sengaja tidak mencolok agar tidak memecah belah fokus orang di dalamnya.

"Halilintar, saya bicara dengan kamu, bukan dengan dinding." Suara bariton yang berat menyahut, memecah lamunan abstrak Halilintar.

Ketika menatap ke seberang, ada seorang lelaki muda berjas putih dengan kontur wajah datar. Terpisah jarak oleh meja kecil di depannya, Halilintar sadari bahwa dia baru saja mengabaikan sesi konsultasinya bersama Kaizo──psikolog langganan serta Ayah dari Solar, sahabatnya.

"Maaf?" Tawa kecil itu malah keluar dari si merah tanpa rasa bersalah. "Ada tokek di dinding, Pak. Mau nggak mau saya ngeliat ke sana." Tunjuk Halilintar pada jam dinding dengan bentuk tokek besar.

Tak ayal pria muda itu melotot, mendengus lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Halilintar untuk memberikan sentilan di dahi. Kaizo mencibir, "Akan saya buang jam dinding itu lain kali. Bisa fokus ke saya tidak?" Tanya Kaizo.

"Bisa."

Padahal Kaizo hampir saja melayangkan pertanyaan sederhana seperti biasa, tetapi kali ini, sang pasien nampak sedang ingin bermain-main.

Halilintar menyela. "Anak Bapak ada berapa?"

Sontak saja pria itu mengernyit dalam-dalam. Telunjuknya mengarah pada si merah, "Yang psikolog di sini itu saya, bukan kamu, Lin. Jangan mencoba mengalihkan topik pembicaraan."

"Pepatah bilang, pasien itu raja. Perkataan raja harus di turuti." Sahut Halilintar dengan jumawa. Dia bersandar di punggung kursi, matanya mengerling main-main pada Ayah sahabatnya.

"Pepatah pun bilang, dokter itu dewa."

"Bapak," Halilintar mendesis tidak suka saat kalimatnya malah di balas serius. "Sesi kali ini bisa di skip, nggak? Saya ngerasa baik-baik aja hari ini." Mohonnya pelan.

"Memangnya──"

"Anak Bapak ada berapa?" Kali ini Halilintar makin menuntut. Berhenti bersandar, si merah itu mencondongkan tubuh ke depan dengan tangan terlipat di atas meja.

"Kenapa bertanya?" Tanya di balas tanya, sang psikolog itu menatap penasaran pada pasien langganannya.

"Cuman pengen."

Narasi: Stay With Me [ Halilintar ]Where stories live. Discover now