4

136 20 0
                                    

Episode 4.


Aku memalingkan pandanganku dari pad ke gadis berwajah cemberut di depanku. Kelas sudah kosong tapi gadis ini justru menarik kursi belajar dengan bahan stainless ke arahku.

Aku membuang nafas untuk melepas rasa kesal yang timbul karena suara derit kaki kursi.

"Nyebelin!" gerutu Vio dengan wajah yang cemberut lengkap dengan kedua tangan yang menopang dagunya.

"Sebaiknya kamu masuk kelas selanjutnya," kataku dengan kembali menatap pad dan memeriksa grup WhatsApp dosen yang entah ramai karena apa.

"Kenapa kakak killer gitu sih? Jutek, gak ada senyumnya sama sekali. Malah nodong aku pakai pertanyaan yang susah lagi."

"Aunty Fira gak bilang apa-apa tadi?" tanyaku tanpa menatapnya karena menyimak jadwal sidang skripsi yang baru saja dibagikan oleh staf prodi.

"Hmm..."

'Respon macam apa itu!' Batinku.

Aku menatap ke arah Vio yang bibirnya semakin maju karena kesal. Dia pasti kesal... Kelas pertama yang ia ikuti pagi ini adalah kelasku. Karena ini hari pertama aku mengajar, aku memberi kontrak kuliah yang sejujurnya Vio lebih banyak melanggar kontrak kuliah.

Mulai dari pakaian yang dikenakan, sikapnya di kelas, dan juga pengetahuannya yang masih kurang cukup untuk mahasiswa semester 6. Biar kuperjelas lagi. Kelas yang aku ajar pagi ini adalah kelas Industrial Relationship dan ini adalah kelas untuk semester 4. Vio mengulang!

Aku tidak tau seberapa kacau anak ini dalam segi akademiknya...

"Pergi ke kelasmu sekarang, jangan sampai mengulang di matakuliah lain."

"Gak mau!"

"Baiklah," jawabku santai sembari menutup padku dan memasukkannya ke dalam tas.

"Kakak mau pergi sekarang?"

"Tugasku sudah selesai di sini, apa ada masalah?"

"Mau makan bareng gak kak? Kebetulan..."

"Gak," jawabku cepat sebelum gadis itu mengoceh lebih banyak lagi.

"Belajar panggil aku Ibu di kampus, dan... kita udah dewasa kan? Panggil aku seperti kamu panggil memanggil Fira."

Aku melenggang pergi meninggalkan Vio sendiri di kelas. Mungkin perkataanku sedikit kasar, namun itu demi kebaikannya juga. Jika aku berperilaku lembut, maka mungkin dia akan semakin menjadi.

Aku bergegas pergi ke rooftop gedung F, tempat di mana Fira berada. Begitu sampai di atas aku disambut dengan suasana sejuk outdoor taman buatan, semilir angin berhembus dari arah lain, sementara aku mengedarkan pandangan ke ruang berkaca di sisi lain rooftop. Sebuah kafetaria terlihat cukup ramai di sana.

Aku masuk ke kafetaria, harup kopi dan roti manis menyambutku dan di salah satu sudut kafe aku bisa melihat Fira tengah duduk menghadap luar kaca yang menampilkan pemandangan gunung di kejauhan.

"Maaf ya, Lo jadi nunggu lama," ucapku sembari menarik salah satu kursi.

"It's okay Al," jawab Fira tanpa melihat ke arahku dan tetap fokus dengan pad-nya.

Aku meletakkan tasku dan mengeluarkan kotak makan berisi dua potong roti isi setengah gosong yang tadi pagi aku buat.

"Lo mau gak?" tanyaku dengan menyodorkan satu potong roti yang masih tersisa di kotak makan.

Fira melirik tanpa minat, "enggak lah, masakan Lo gak meyakinkan banget sih."

Aku tersedak karena mendengar jawaban Fira, bukannya karena tersinggung tapi karena tertawa. Memang aku tidak begitu suka juga dengan masakanku pagi ini.

Meminta Restu TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang