6

136 20 2
                                    


Episode 6.


"Alhamdulillah... Gue legaaaa banget, akhirnya Lo mau minum obat."

Aku hanya tersenyum seadanya, aku pun bisa merasakan kelegaan Fira dengan jelas. Tangannya menenteng sebuah plastik obat dari rumah sakit yang diresepkan Rendi untukku.

Aku memeluk Fira dan wanita itu menyambut pelukanku dengan hangat. "Thank you, Fir... Udah support gue sampai segitunya."

Wanita itu menepuk ringan kepalaku kemudian melepaskan pelukan kami.

"Sama-sama, Al..." ucapnya dengan tersenyum, "gue kan juga pingin liat Lo menikmati hidup yang beneran hidup. Pokoknya selama Lo di sini Lo bilang aja apa yang Lo butuhin. Mau Lo ngerasa gak nyaman di tengah malem pun, Lo harus kabarin gue. Gue pasti otw ke rumah Lo kok. Lagian kan rumah kita cuma beda blok doang..."

Aku mengangguk, "iya..." mataku jatuh pada plastik obat yang barusan Fira tebus untukku. Aku mengambil plastik itu dari tangan Fira.

"Mumpung lagi di sini, sana Lo temui Mas Tedimu yang ganteng itu... Ajak makan siang bareng gih."

"Lah? Lo malah inget Mas Tedi."

Aku meringis, "dah sana samperin... Lo kan lagi halangan, mending temuin Mas Tedi terus makan siang bareng. Gue mau shalat dzuhur dulu."

"Gak pengen gabung aja makan siang bareng?"

"Enggak. Sanaaa buruan, nanti Mas Tedi keburu makan siang sama mba sus syantik loh."

"Heh, mana ada... Gue ya yang paling cantik di dunia dan akhiratnya Mas Tedi..."

Aku terkekeh melihat ekspresi wajah Fira yang merengut. "Iya deh iya...yang cantiknya udah punya Mas Tedi sampe dua dunia gak ada tandingannya..."

"Iyalah...Fira gitu loh... Dah lah, gue mau ketemu suami kesayangan gue dulu. Bye Al sayang..."

Aku tersenyum geli melihat cara Fira meninggalkan aku dengan lenggokkan badannya. Wanita ini memang sedikit gila jika sudah bersama orang terdekatnya. Namun karena kegilaannya itu, aku bisa tersenyum.

Aku menatap plastik yang ada di genggamanku.

'Akhirnya aku bertemu dengan kalian lagi.'

Batinku saat itu... Sungguh, aku tak ingin bertemu dengan sekumpulan obat berukuran kecil dengan dosis tinggi itu...

Namun, kali ini Rendi sendiri yang mendorongku untuk melangkah lebih serius tentang sensitivitas mentalku.

"Kamu harus mengambil langkah maju untuk tetap hidup, Al... Episode tentang,... Maaf,... mantan kekasih kamu,... itu sudah selesai. Sekarang adalah episode tentang kamu..."

Saat aku mendengar kalimat yang dikatakan Rendi, rasa hangat menyelimuti hatiku. Ada rasa rindu pada diriku di masa lalu. Diriku yang seorang pemburu penuh ambisi.

Aku mengepalkan tangan kananku di balik saku celana. Jika aku bisa, aku ingin merenggut diriku di masa lalu dan menariknya agar bisa merasuk ke dalam diriku hari ini.

Namun aku hanya bisa meremas saku celana.

Dunia begitu kejam untuk sebagian orang. Dia tetap berjalan normal tanpa peduli tentang apa yang hilang dari orang lain.

Namun, itulah cara kerja dunia. Begitulah Tuhan menciptakan kami.

"Mari kita perbaiki dulu satu-satu. Kita perbaiki tentang bagaimana kamu tidur dan bangun, lalu bagaimana kamu berpikir dan memilih ingatan."

Benar... Aku mengakui betapa kacaunya hidupku belakangan ini. Aku hanya menjalaninya tanpa mempedulikan betapa hancurnya pribadiku.

Yang kupedulikan adalah tentang bagaimana orang lain perlu melihatku dengan luar biasa, hingga mereka tak perlu melihat lukaku yang begitu dalam.

Sebuah proses pembuktian diri untuk menjalankan kewajibanku, seperti mandat terkahirnya.

"Ibu adalah segalanya kan buat kamu?"

Pertanyaan itu bahkan sudah tak terdengar sebagai pertanyaan untukku. Pertanyaan yang untuk pertama kalinya dilemparkan oleh wanita yang begitu kucintai.

Saat itu aku hanya diam dengan kepala tertunduk dan tangan gemetar.

"Pergilah... Tunaikan tugasmu sebagai putri sulung dan jangan pernah melihat ke belakang lagi."

"Mari kita tekan tombol reset."

Harus kujawab apa kalimat terakhir itu?

Aku hanya diam saat wanitaku mengatakan itu. Dan hari ini semuanya terulang. Saat Rendi menawarkan sarannya, dan mengajakku mereset ulang semuanya.

Di masa lalu aku diam, karena aku tak yakin bisa berjalan ke depan tanpa melihat ke belakang, namun kali ini aku diam karena takut benar-benar kehilangannya bahkan jika itu hanya kenangan tentangnya.

Apa yang harus kulakukan?

Aku tidak tau...

Bruukkk... sebuah mobil mainan menabrak ujung sepatuku. Tak lama seorang anak laki-laki bertubuh gempal dengan pipi setebal bakpau berlari ke arahku dengan remote control di tangannya.

"Maaf tantee... mobilnya nabrak kaki tante.."

Aku tersenyum kemudian berlutut di hadapan anak itu, "it's okay sayang. Gapapa. Lain kali mainnya hati-hati ya."

Anak bertubuh gempal itu tersenyum dan mengangguk dengan cepat.

"Mamanya di mana? Kok main sendiri?" tanyaku sambil celingak-celinguk mencari penampakan wanita yang barang kali kebingungan karena kehilangan bocah gempal ini.

"Itu mama!" seru anak itu dengan menunjuk ke arah seorang wanita berhijab yang sedang bercengkrama dengan seorang perawat.

Melihat cara berpakaian, caranya bercengkrama dengan perawat, aku yakin dia bagian dari rumah sakit ini. Gesturenya berinteraksi mirip dengan cara Fira berinteraksi dengan para pekerja di rumah sakit ini.

Sekarang mataku kembali fokus pada bocah gempal di depanku. Aku mengambil mobil mainannya dan menekan tombol off. "Main mobilnya nanti lagi ya. Kalau adek main mobilnya di sini, nanti mama bingung nyariin adek."

Anak itu hanya mengangguk, aku memberikan mobil mainannya kembali dan mengusap kepala bocah itu. "Sekarang ayo balik lagi ke mama."

"Oke tante, makasih ya tante cantik," ucap bocah itu sekaligus dengan mencuri ciuman di pipi kananku dan segera berlari secepat mungkin ke arah mamanya.

Dasar bocah nakal. Dia meninggalkanku yang masih terkejut dengan aksi genitnya!

Dari kejauhan aku bisa melihat bocah gempal itu memeluk kaki jenjang ibunya. Aku sibuk menahan tawa, entah mengapa kaki jenjang ibunya yang bersanding dengan tubuh mungil dan gempal itu terlihat begitu lucu untukku.

Aku berdiri dari posisi berlutut, sekilas melihat wajah ibu dari si gempal. Sejenak nafasku tertahan, sampai akhirnya aku terkekeh sendiri.

Aku pasti gila karena mengira itu adalah mantan kekasihku.

'Dia hanya mirip'

Batinku.

Aku memutuskan melangkah pergi namun satu jeritan yang menyebut nama itu membuatku berhenti.

"Altha!"

Siapa barusan yang dipanggil?

Aletha? Altha?

.

.

.

Meminta Restu Tuhan

Meminta Restu TuhanWhere stories live. Discover now