12

163 18 11
                                    

Episode 12.

Aku memegang erat cangkir di tanganku dan menatap punggung Aletha.

Wanita itu berdiri menatap kosong pada tirai putih yang digunakan untuk menutup dinding kaca gedung ini. Sejak subuh ia tak sedikitpun melihatku.

Hanya suaranya saja yang menggema saat memberikan kemeja oversize-nya untukku setelah aku selesai mandi. Itupun tanpa melihat ke arahku.

Malam yang kami lewati begitu panjang.

Ada derita di antara kami, juga penyesalan yang bersatu dengan kerinduan satu sama lain.

Semalam Rendi datang, tentunya lengkap dengan obat penenang dan kami membawa Aletha turun.

Membawa Aletha pulang ke rumahnya adalah ketidakmungkinan. Akhirnya aku bermalam bersama Aletha, sementara Vio terpaksa diantar pulang oleh Rendi.

Aku tau, ada banyak pertanyaan di benak Rendi dan Vio semalam, tentang kejadian mengerikan itu, dan juga ketika aku mengatakan bahwa aku mengenal Aletha sejak lama.

Aku tidak punya pilihan, aku meminta kepercayaan Rendi untuk meninggalkan Aletha bersamaku.

Sepanjang malam aku terjaga menjaga Aletha yang tidur meringkuk. Terkadang ada air mata yang mengalir di sana dan aku berusaha menenangkannya.

Sampai lelah memakanku dalam gelapnya malam dan tanpa sadar aku terlelap.

Jelang subuh, sekitar pukul 3 pagi aku terjaga dan mendapati kekosongan di sisiku. Selimut yang semula aku gunakan untuk menyelimuti Aletha kini telah beralih menyelimuti tubuhku. Hijabku pun telah tanggal entah kemana.

Di tengah gelapnya ruangan aku mencari Aletha, dan akhirnya menemukannya duduk di lantai dengan kepala bersandar pada badan sofa.

Hanya diam yang ia berikan sampai subuh datang.

"Al," panggilku lirih dengan menyentuh bahu wanita itu.

Wanita itu berbalik menghadapku. "Air," tawarku padanya. Aku ingat semalam Rendi melarangku terlalu banyak bertanya saat Aletha sadar.

Wanita itu tersenyum tipis kemudian menerima mug tinggi berisi air putih itu. "Makasih," ucapnya kemudian meminum sedikit air di sana.

"Boleh peluk?" tanyaku hati-hati. Ia mengangguk dan membuka satu tangannya yang kosong.

Aku langsung datang padanya, memeluk erat wanita pemilik rambut hitam kecoklatan itu dan meluapkan seluruh rasa lelahku di bahunya.

Ini bukan lelah fisik yang bisa kujelaskan, ini adalah lelah mental karena perasaan kami yang begitu kompleks pagi ini.

Aku tau, dalam diamnya, Aletha juga merasakan lelah yang sama karena kondisi kami.

Kletak...

Dari balik dekapannya aku bisa melihat ia baru saja meletakkan mug di atas meja yang ada di dekat kami.

Kemudian satu tangannya melengkapi tangan lainnnya yang sudah bertengger di pinggangku. "Apa semalam aku nyakitin kamu?" tanyanya dengan lembut.

Aku menggeleng di dalam pelukannya. "Tapi sikap kamu pagi ini bikin aku ngerasa sakit."

Dan tangan kanan wanita itu mengusap punggungku pelan, menyalurkan rasa hangat yang membuat darahku berdesir.

"Maaf," ucapnya lirih disusul kecupan di puncak kepalaku. "Kita udah masuk ke jalan yang gak gampang, Nai. Aku jadi bingung."

Aku tau!

Ia akhirnya mengatakan ini setelah apa yang terjadi semalam.

"Tolong jangan minta aku mundur, Al. Aku gak bisa..."

Meminta Restu TuhanHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin