If Only

0 0 0
                                    

Sudah 7 bulan lebih sejak Bali, aku dan Bumi masih sering bertukar kabar lewat WhatsApp. "Eh Lan, kata tante Ida, mamanya Bumi. Dia mau pindah lagi loh, ke London" ucap Mara "Makin jauh deh" potong Kila "Oiya?" tanyaku "Gausah pura-pura gatau gitu deh Lan" ucap Kila "Beneran gatau. Orang kita chat ngomongin kerjaan" "Boong banget, lo kan gasuka chat kalau ngomongin kerjaan. Sukanya pake email. Weekdays only, 8AM to 7PM only" ucap Mara "Bener banget itu" ucap Kila. Sebetulnya aku dan Bumi jarang sekali berbincang tentang pekerjaan kita, kita lebih sering berbincang tentang hal-hal lain. Seperti kemarin, aku baru saja menyelesaikan buku ku, aku menceritakan kepadanya, memang bukunya sangat easy reading tapi akhirannya agak menyebalkan, dan dia menanggapi nya seperti ia membaca buku tersebut. *telepon berdering* "Ditelfon tuh" ucap Mara, aku langsung berdiri dan menjauh dari mereka saat mengangkat telfon 'Lan? Lagi dimana?' 'Di rumah Mara nih. Ada apa Bum?' 'Oalah. Saya minggu depan ke Jakarta, kalau kamu tidak sibuk, bisa ketemu?' sial ku pikir, minggu depan aku harus ke Hong Kong untuk meeting 'Bum, aku minggu depan ke Hong Kong. Kamu sampai kapan di Jakarta?' 'Saya hanya 2 hari Lan. Kalau Saya extend, Saya kabarin lagi' 'Oke Bum. Maaf yaa' 'Take care, Lan' lalu ia menutup telponnya. "Kenapa Lan si Bumi?" tanya Kila "Dia mau ke Jakarta, minggu depan" "Ketemu dong kalian" ucap Mara "Aku kan ke Hong Kong, Mar" aku bisa melihat Kila langsung menyeruput minumannya dan Mara memperlihatkan muka tidak enak "Gapapa. Masih ada next time" ucap Mara. Sejujurnya, aku agak sedih tidak bisa bertemu dengannya sebelum ia pindah ke London, karena pasti dia akan lebih sibuk lagi.

Aku sampai di Hong Kong. Tidak ada kabar dari Bumi sejak dia mengajakku bertemu di Jakarta, tapi aku pun juga tidak mencarinya. Aku sedang menunggu koperku yang tak kunjung datang, lalu ada yang menepuk ku dari belakang "Bulan?" ternyata Sarah "Sar? Ya ampun, kenapa sih kita gapernah ketemu di Jakarta" ucapku "aku lagi mau meeting Lan. Aku denger tentang Bumi, kamu yang sabar yah" "Kok aku yang sabar? Kan dia dapet kerja bagus di London, lagi pula aku dan dia juga tidak ada apa-apa kok" "Oh. Iya. London" Sarah terlihat seperti salah bicara kepadaku "Kenapa emang Sar?" "Ohh engga, aku denger dia balikan sama mantannya dan mau menikah" dadaku seketika sakit, kakiku tak bisa berhenti bergetar, tangan ku mulai lembab "Ohhh" "Shit. He really didnt tell you, huh?" "hahahaha yeah. But, it's okaay. I'm glad I know it from you Sar. Yasudah aku pulang duluan ya Saar. See you when I see you" aku memeluk Sarah dan mencari taksi. Apakah ia ke Jakarta untuk memberitahu ku bahwa dia sudah mau menikah? atau dia mau ke Jakarta untuk memberitahu keluarganya? atau dia mau memberitahu ku hal lainnya? seperti mencintaiku? Kenapa aku berfikir seperti itu, pasti karena ia sudah dengan yang lain. Maka dari itu, aku berfikir hal-hal bodoh seperti ini.

*telepon berdering* "Bulan" "Halo?" aku terbangun karena di telfon "Aku didepan rumah mu" aku membuka handphone ku untuk melihat siapa yang menelfon ku, ternyata Bumi. "Hah? rumah ku?" "Iyaa. Cepat kedepan" "Bohong. Kamu kan sudah tidak di Jakarta" "Masih. Cepat keluar" aku dengan baju tidur ku, keluar rumah. "Hi Lan. Sorry bangunin pagi-pagi" Ia datang ke rumah ku jam 5 pagi "I have to see you before I go" ucap nya "Kenapa Bum? Repot-repot datang ke rumah ku. Mau masuk dulu?" "Flight ku jam 6 Lan" "Ada apa Bum?" Ia tersenyum lebar dan mengelus tangan ku "If only things were different" "Engga. Don't say it" aku memotong pembicaraan itu, karena menurut ku hal tersebut tak perlu diucapkan "In another life, I would have really liked, just doing laundry and taxes with you" ucapnya "Itu kan dari Everything Everywhere All at Once. Jangan bilang 'in another life' we're just not meant to be together Bum. It's nice knowing you, Bum" aku menahan air mata yang akan jatuh ke pipiku, dan sudah dipastikan mata ku sangat amat ber-air "Lan" aku memberinya senyuman manis "Good luck on everything Bum" aku memegang pundaknya, memutar balik, dan menutup pintu. Saat menutup pintu rumah, air mata ku jatuh sangat cepat, mulai dari pipi hingga ke lantai. Aku duduk di balik pintu rumah ku, dan menangis. Ternyata selama ini, aku mencintainya, tapi aku tidak pernah menyadari hal itu, sampai aku tahu dia dengan orang lain.

Caught Up In The MomentWhere stories live. Discover now