Two.

287 37 13
                                    

Happy reading!!

Sesuai yang disarankan sang kekasih, Khaotung membagi coklatnya pada Phuwin dan Marc di jam istirahat.
Setelah itu, Khaotung lalu curhat tentang keinginan First berserta ibu dan ayahnya yang ingin First membawa orangtua dia ke rumah setelah Khaotung lulus sekolah. Gila, kan?

"Kalian akan menikah secepat itu?" Tanya Marc dengan kaget, dia memiliki satu pikiran yang sama rupanya dengan Khaotung.

"Aku juga berpikir seperti itu, aku akan dinikahinya setelah aku lulus. Makanya aku menolak, aku tidak mau menikah muda."

"Tapi kan paman First tahu kau ingin berkuliah dulu," tanggap Phuwin sambil memakan cokelatnya dengan rakus, dia cukup tergila-gila pada makanan manis.

"Kuliah setelah menikah pun tetap bisa dilakukan," jelas Marc.

Ah, Phuwin mengerti sekarang. "Dia takut kau menemukan pria lain di dunia perkuliahan mungkin."

"Mungkin?" Khaotung juga berpikir demikian. "Tapi, jika itu alasannya bukankah dia tidak percaya padaku?"

"Benar, jangan mau dinikahi dini," saran Marc dan diangguki oleh Phuwin.

-----

"Dia pasti berpikir bahwa kau akan menikahinya sesaat setelah dia lulus sekolah."

"Pikirannya pendek sekali."

Force lalu tertawa, ya namanya juga anak kecil. Pertemuan dua keluarga dianggap sebagai meeting tanggal pernikahan.
Padahal, First hanya ingin keluarga Khaotung dan Khaotung sendiri pun untuk mengenal keluarganya lebih dalam.
Supaya adil saja, First sudah sangat akrab dengan keluarga Thanawat jadi Khaotung mungkin akan senang jika dipertemukan dengan keluarganya yang sama sama Cemara.
Apalagi, keluarganya Khanapan itu terdiri dari keluarga besar.
First adalah anak ketiga dari 4 saudara, kebetulan First adalah satu-satunya anak laki-laki dua kakak dan satu adiknya adalah perempuan.

"Aku sudah memberitahu keluargaku bahwa aku sedang menjalin kasih dengan Khaotung," curhat First. "Dan mereka ingin bertemu dengan Khaotung secepatnya."

"Aku tidak berpikir membujuknya adalah pilihan terbaik, kau tahu bagaimana keras kepalanya dia."

First menganggukkan kepalanya, dia tahu jika Khaotung sangat keras dengan kemauannya. Jika dia bilang tidak, sampai kapanpun tidak akan menjadi iya.

"Aku sempat berpikir jika Khaotung tidak menganggap hubungan ini serius."

"Beraninya kau berbicara seperti itu soal adikku," semprot Force. "Dia tak pernah menyepelekannya sebuah hubungan, pikirannya saja yang masih anak-anak."

"Apa aku benar-benar tidak diperbolehkan untuk mengajarinya dunia orang dewasa?" Tanya  First.

Force menganggukkan kepalanya. Itu adalah salah satu syarat yang diberikan oleh Force pada First. Dia tidak mau Khaotung berubah menjadi dewasa sebelum waktunya, atau menjadi dewasa karena di arahkan oleh First.
Force ingin Khaotung memuaskan dirinya sebagai anak-anak dan belajar menjadi dewasa oleh tindakannya sendiri.

"Kenapa kau begitu protektif padanya? Ayahmu saja menyarankanku untuk membawanya menginap di apartemenku," keluh First.

"Kubunuh kau jika berani melakukannya."

First kemudian membujuk Force untuk membiarkan Khaotung bermain ke apartemennya, dia bersumpah tak akan melakukan apapun selain mengobrol dan menghabiskan waktu bersama seperti  sepasang kekasih remaja pada umumnya.

"Pasangan remaja mana yang bermain di apartemen?" Tolak Force.

"Kau saja yang sering 'bermain' di apartemen orang, jadi pikiranmu kesana terus," balas First dengan kesal.
.
.
.
Kali ini First memiliki banyak waktu senggang, ia pulang lebih awal setelah semalam bekerja lembur.
Dia bisa menjemput Khaotung yang ia ketahui sore hari ini masih berada di sekolah untuk kelas tambahannya.
Saat bel sekolah berbunyi, First segera memasukan ponselnya ke dalam saku dan melihat segerombolan siswa keluar dari kelasnya masing-masing seperti tahanan yang baru saja dibebaskan.
First tersenyum melihatnya, masa sekolahnya sangat membosankan dulu jadi dia selalu senang setiap kali menjemput Khaotung dan melihat suasana seperti ini.

He is 30 years old.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang