84 - Acelia VS Mictlain (2)

3.7K 539 28
                                    

"Naiklah!" Perintahnya. Thalia bergegas naik kembali keatas kepala burung api tersebut.

Burung api kembali terbang untuk menghindari Mictlain yang mendekat ingin melontarkan serangan fisik kearahnya.

"Aku akan mematahkan sayapmu jika kamu selalu menghindar!" Geram Mictlain.

Thalia mendengus kesal, "Dikira kita sukarelawan gitu asal menyerahkan diri. Sinting paman ihh!"

Suara khas burung api berkicau membuyarkan rasa kesal Thalia. Ace terkekeh akibat istrinya uring-uringan sendiri.

Burung api terbang meliuk-liuk menghindari beberapa serangan dari Mictlain. Tidak ragu, Ace juga menyerang secara langsung si monster buruk rupa. Thalia melirik sekilas kaki burung api, sangat besar dan kuku jari-jarinya juga panjang dan tajam. Tak khayal, Mictlain terluka karena sabetan kuku tajam tersebut.

Pada kedua sayapnya juga memiliki senjata, selain terdapat bulu-bulu indah nan tajam. Pada siku sayap terdapat sebuah senjata, serupa seperti jalu ayam akan tetapi tajam dan sangat kokoh. Berkali-kali Mictlain terlempar dan terluka akibat menerima pukulan dari kedua sayap Phoenix.

Burung api tidak bisa menggunakan kedua tanduknya, karena Thalia bertenger diatas kepalanya. Jadi, Ace atau burung phoenix hanya mengandalkan kaki, sayap, dan sihirnya saja.

Kedua mata merah keemasan menatap setiap pergerakan Mictlain.

Thalia mencoba kemampuannya dalam memanah. Agak sulit karena ia berada diatas kepala burung api yang sedari tadi bergerak tanpa ada jeda. Jemarinya mengambil busur panah dalam wadahnya, ia memasangkannya pada tali. Thalia mengambil kuda-kuda unttuk menembakkan panahnya, meski dalam kondisi duduk hal itu sangat sulit ia lakukan—jika di suruh memilih, Thalia lebih menyukai pisau lemparnya.

Tangan kanannya menarik busur panah kebelakang, dan tangan kirinya lurus kedepan. Netra heterochomia-nya mencoba fokus untuk membidik lawan. Thalia fokus dan berkonsentrasi hingga tidak menyadari mana sihir mengalir ke senjata yang sedang ia gunakan. Anak panah bersinar merah keemasan dengan runcing di bagian depan mengikuti aslinya.

Thalia menarik nafas panjang, ia berusaha rileks dan tenang. "Fokus mengenai jantungnya." Sahutnya.

Ia menunggu kesempatan yang tepat, saat burung api terbang menukik kearah bawah. Thalia melepaskan anak panahnya. Sebuah sinar merah keemasan meluncur sangat cepat kearah Mictlain. Kedua matanya membola, monster buruk rupa berusaha menghindar.

Anak panah Thalia meleset berakhir menghancurkan puing bangunan yang telah hangus terbakar.

"Ck! Meleset dong. Hampir saja!" Ujarnya gemas.

"Jangan memaksakan diri, lakukan sesuai keahlianmu saja, Tha. Daripada membuang sia-sia mana sihir yang kamu miliki." Kata Ace mengingatkan.

Thalia menghela nafas panjang, "Iya, aku tahu." Jawabnya kecewa.

Ace menyerang jarak dekat untuk kesekian kalinya. Mictlain dalam posisi bertahan, ia dihadapkan oleh serangan tajam yang dihasilkan oleh kuku dan senjata runcing yang terletak pada siku sayapnya. Jari-jari tangan kekar Mictlain berhasil mencengkram salah satu sayapnya.

Dengan kekuatan penuh ia menghempaskan burung api tersebut. Sontak Thalia berpegangan erat pada tanduk dan bulu burung api agar ia tidak terlempar dan berakhir jatuh. Tubuh Thalia terpelanting kekanan dan kekiri, jari-jarinya masih berpegangan kuat. Ia tidak ingin berakhir jatuh dari ketinggian.

Burung api berusaha melepaskan diri, tapi gagal karena Mictlain menghempaskan kembali berlawanan arah ketika Phoenix akan menyerangnya. Mictlain kembali mengangkat tubuh burung api hingga terangkat keatas. Pegangan Thalia terlepas, ia terlempar dan jatuh dari ketinggian, tubuhnya menghantam tanah serta puing-puing bangunan. Tubuh Thalia berguling hingga terhenti akibat punggungnya terbentur batu. Dahi Thalia robek dan mengeluarkan darah yang mengalir sampai wajahnya. Punggungnya terasa remuk dan tulang kaki dan tangannya serasa patah. Ia mengeliat karena kesakitan.

Tidak jauh dari tempat Thalia jatuh, burung api juga tersungkur akibat Mictlain yang menghempaskan burung api tersebut ke tanah. Phoenix mencoba bangun dan menghindar, gerakannya sedikit lambat akibat ia terluka pada kakinya.

Tawa Mictlain membahana melihat burung Phoenix dan Thalia dalam kondisi buruk. Kedua matanya beralih menatap tajam burung api yang berusaha berdiri. Kaki besarnya beranjak mendekati Phoenix. Secepat kilat, tangan kekar Mictlain mencengkram leher Phoenix—ia mencekiknya dengan penuh rasa dendam. Sementara tangannya yang bebas menghalau salah satu sayap milik burung api agar tidak melukainya.

"Ternyata kamu lemah." Sahut Mictlain dengan nada mengejek. "Tidak lama lagi, riwayatmu akan berakhir!" Sambungnya penuh penekanan.

Netra heterochromia menangkap Mictlain mencengkram leher dan sayap milik Phoniex. Sontak ia bangun meskipun tubuhnya terasa remuk. Jemarinya meraih busur panah yang jatuh tak jauh darinya. Anak panah sudah terpasang pada tempatnya. Ia mulai menarik anak panah yang sudah terpasang.

Ia membidik punggung kiri tepat dimana jantung berada. Tangan kanannya merenggangkan tali hingga batas ujung mata tajam anak panah. Aura sihir berwarna merah keemasan kembali menyelimuti anak panah, kali ini aura yang menyelimuti lebih besar dari ukuran awal Thalia mencoba menggunakan panahannya.

Thalia berusaha fokus, tenang, dan ia mengatur hembusan nafasnya serta debaran jantungnya. Hatinya yakin kali ini ia akan berhasil mengenai target sebab nyawa suaminya berada ditangan Thalia.

"Dengan kekuatan mana sihir yang maksimal, aku harap monster buruk rupa tersebut bisa terkalahkan." Gumam Thalia membuat aura merah keemasannya semakin membesar.

Jemarinya melepaskan titik tumpu antara pangkal anak panah dan tali busur panahnya. Dalam sekejap anak panah melesat dengan gagahnya, terselimuti cahaya merah keemasan.

"Arghhhh!" Teriakan Mictlain menggema karena ia merasakan sakit yang menghujam di punggung sebelah kirinya hingga menembus ke jantungnya. Ukuran anak panahnya kecil. Tapi, karena keberadaan sihir menjadikan anak panah tersebut berukuran besar.

Phoenix jatuh akibat cengkraman Mictlain melonggar. Ia mengambil nafas rakus karena cekikan erat membuat dirinya tidak bisa bernafas. Netra merah keemasannya menatap Mictlain dengan anak panah yang menancap di punggungnya. Thalia berdiri tidak jauh dari posisi mereka. Kedua matanya menatap tajam Mictlain yang sudah menggeram kesakitan.

Tidak menunggu lama, burung api kembali terbang, ia membuat bola sihir api. Kobaran api meliuk-liuk bergerak memutar, semakin lama ukurannya semakin membesar. Di sekitar bola api terpancar kilatan-kilatan petir berwarna jingga dan sedikit menyilaukan mata.

Serangan puncak yang mampu menghancurkan lawan. Burung api segera melepaskan bola api tersebut.

Jeritan Mictlain semakin keras, ia mendapatkan dua serangan sekaligus. Tubuhnya perlahan di lalap habis oleh kobaran api, sedikit demi sedikit tubuhnya meleleh akibat suhu yang sangat panas yang di hasilkan oleh api sihir milik burung Phoenix.

Api melahap habis tubuh besar dan kekarnya, perlahan ukurannya menyusut dan kembali menjadi ukuran manusia normal.

Thalia terdiam melihat kearah sang Ratu yang sudah tergeletak tak bergerak. Kobaran api seketika menghilang. Mictlain sudah tiada. Kini, ia melihat kondisi sang Ratu Julie.

Tatapan nanar Thalia tidak bisa ia sembunyikan, Ratu Julie menderita luka bakar hampir 75% dan membuat sebagian wajahnya rusak. Ia tidak bisa membayangkan jika Ratu Julie mengetahui kondisinya—Thalia sendiri sudah merasa kasihan melihat kondisi sang Ratu.

Burung Phoenix mendarat tepat disamping Thalia dan membuat si wanita cantik itu menoleh sekilas kearahnya. Senyum getir terukir diwajahnya, ia tidak tahu harus merasakan sedih atau lega karena ia dan Ace sudah mengakhiri riwayat sosok Mictlain.

"Apa kamu ada yang terluka?" Tanya Thalia.

Kepala burung api menunduk dan mendekati Thalia. "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir." Jawabnya. "Sepertinya kondisimu lebih buruk dariku, Tha. Darahnya masih keluar dari dahimu." Sambung Ace.

Thalia segera merobek sedikit bajunya, ia menekan dahinya sejenak agar darah tidak keluar lagi.

Burung api sibuk mendusel-duselkan kepalanya ke tubuh istrinya—ia terlihat seperti burung besar yang manja. Sangat bertolak belakang dengan penampilan yang gahar. Thalia merasa gemas, ia memeluk erat dan mengelus lembut bulu-bulu halus tersebut—rasanya benar-benar nyaman dan membuat Thalia candu untuk memeluknya.

"Apa Ratu Julie akan selamat?" Tanya Thalia kembali menatap nanar kearah Ratu Julie.

I WANT YOUWhere stories live. Discover now