note: -----❀ adalah pov Keyra
"Apa kabar?" suaranya serak dan lemah
Kini diruang rawat Keyra hanya ada kami berdua. Aku menatap kedua netranya yang hitam, pikiranku terasa penuh oleh berbagai pertanyaan, aku tak tau hal pertama apa yang harus kuucapkan
"Kenapa kamu gak pernah bilang?" dari sekian pertanyaan entah mengapa bibir ini memilih untuk menanyakan itu, jujur hatiku terasa kecewa
"Bilang apa?"
"Kalo kamu sakit"
Keyra memalingkan wajahnya dariku "Untuk apa mengatakan penyakitku pada orang baru?"
"Aku masih asing ya dimatamu Key?"
Keyra menggeleng lemah "Kamu tidak asing, tapi kamu sesuatu yang baru dihidupku"
Apa Keyra mengerti? apa dia faham bahwa aku terluka dengan kehilangannya yang tiba-tiba "Apa aku gak berarti Key buat kamu? kamu gak ada kabar 2 bulan ini.., kenapa kamu ga bilang kalo kamu sakit?"
Keyra menunduk dan air mata mulai keluar deras jatuh di pipinya "Aku minta maaf.., maaf untuk semuanya.."
"Disini jauh lebih baik, aku bosan di dalam kamar" Aku membawa Keyra keluar dan memutuskan berhenti di taman rumah sakit yang tak terlalu jauh, ada air mancur di tengahnya. Keyra menatap sekelilingnya, para dokter dan perawat berlalu lalang melewati kami
"Aku minta maaf" ucapku menyesal
"Untuk apa?"
"Mendesakmu, aku memang kecewa tapi aku seharusnya mengerti mungkin kamu belum mau menceritakannya bukan tidak mau menceritakannya"
"Dua bulan yang lalu aku masih tidak seburuk ini, aku masih bisa berjalan dan merasakan angin di luar, bukan berdiam diri di kamar rumah sakit" suara Keyra terdengar parau dan serak
"Abra.."
"Apa kamu bisa membawaku ke taman bunga matahari?"
-⚘
Aku menghirup udara segar yang terasa familiar di hidungku. Semilir angin berhembus membuat para daun bergesekan dan hamparan bunga matahari bergoyang, itu menciptakan suara yang khas
"Tiga tahun yang lalu saat aku kelas 2 SMA aku didiagnosa terkena penyakit leukemia"
Tenggorokanku tercekat saat mendengarnya, suara daun yang bergesekan entah mengapa sudah tak terdengar lagi oleh telingaku
"Leukemia?" tanyaku memastikan
Keyra mengangguk "Saat itu duniaku terasa hancur, tapi bunda dan ayah selalu menyemangatiku dan selalu memberi harapan ditengah kefrustianku"
"Dua bulan sebelum didiagnosa leukemia aku kehilangan sahabatku, namanya Amara. Memiliki senyum yang manis dan cerah seperti bunga matahari, tapi sayang dia jarang tersenyum"
"T-tapi aku membunuhnya.., hiks!" bahunya bergetar hebat, aku membawa tubuh kurus dan ringkih itu dalam dekapanku dan mengelus punggung sempitnya
-----❀
Tiga tahun yang lalu
Seperti biasa aku mendatangi rumah sahabatku Amara, kakiku berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Ini adalah rutinitas harianku yaitu menjemput Amara lalu Olva untuk berangkat sekolah
Tak ada yang menyahut saat aku berulang kali memanggil nama Amara. Aku memutuskan membuka pintu rumahnya, pintu dibuka kasar oleh pria berbadan besar yang tampak mabuk, aku menenggak ludahku, itu ayah Amara
"A-amaranya ada om?" terdengar jelas aku ketakutan dari suaraku yang bergetar
"Pria itu menatapku tajam "Hari ini anak sialan itu gak masuk"
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
RomanceBulan september, dimana hujan dengan habis-habisnya menghampiri negara Indonesia, di halte bus Abra bertemu seorang gadis yang tampak terjebak hujan sepertinya Gadis dengan buku tebal ditangannya -----❀ "Semesta sedang menghukumku, dan aku sedang me...