16.Diary Amara

167 123 31
                                    

Aku meletakkan tas sekolahku, mengeluarkan buku biru kesayangan Amara, aku ragu untuk membukanya. Pada lembaran pertama bertuliskan 'Milik Amara', ketika aku membuka lembaran selanjutnya aku menyadari bahwa ini adalah buku diary Amara, Amara menuliskan kekerasan yang ayahnya lakukan pada dirinya setiap hari, mencurahkan isi hatinya, dalam beberapa halaman aku bahkan tidak berani melanjutkan membacanya, Amara sering mengatakan tentang kematian, ia ingin mati, ia lelah Amara sangat terluka

Tapi yang mencuri atensiku adalah beberapa halaman menceritakan Olva, Amara selalu mengatakan bahwa Olva sangat keren dan hebat, ia kagum dengan Olva

Hai ini Amara..
Amara seperti biasa yang menjijikkan, aku menulis ini pukul sebelas malam. Tadi pagi ayah memukulku karena kopinya terlalu panas. Aku pergi keluar untuk mencari udara segar dan aku melihat Olva sedang bersama teman ekskul panahnya tentu saja aku tidak berani menyapa, terkadang aku berpikir Olva itu sangat keren dia sama sekali tidak takut dengan apapun dia selalu melindungiku, perasaanku pada Olva sedikit lebih istimewa tidak seperti perasaanku pada Keyra sebagai sahabat, ketika aku menyadari itu aku selalu menangis dan kecewa pada diriku kenapa aku tidak menyukai laki-laki saja, ini benar-benar menjijikkan. Pukul tiga sore ayah mengambil cambuk dan memukul kakiku karena tidak sengaja menginjak kakinya dan ayah mengunciku dalam kamar, aku belum makan seharian, aku selalu menatap bintang, apa ibu melihatku? apa dia menyesal melahirkanku?. Setiap hari rasanya seperti akan mati..

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku baca, apa yang Amara pikirkan bagaimana bisa dia menyukai Olva? aku membalik halaman selanjutnya, itu tulisan terakhir Amara

Hai ini Amara..
Amara seperti biasa yang menjijikkan, aku menulis ini pukul setengah 10 pagi di atap sekolah. Aku berangkat sekolah dengan loncat dari jendela kamarku karena ayah masih belum membukakan pintu kamarku. Kakiku masih terasa sakit apalagi saat aku loncat dari jendela kamar. Ketika kami sampai di kelas Olva langsung mengoleskan obat pada kakiku, itu benar-benar mendebarkan jantungku, Olva melakukannya sebagai seorang sahabat, kenapa aku memandangnya sebagai hal yang lain?. Itu mengerikan aku benar-benar tak bisa fokus jadi aku memutuskan pergi ke atap pada jam pelajaran pak Bimo. Aku harus mencintai seorang laki-laki dan hidup bahagia tapi bagaimana cara mencintai laki-laki? Bagaimana jika aku mengungkapkan perasaanku pada Olva? apa dia akan

Aku menutup buku diary Amara, aku harus bicara dengannya, aku pergi kerumah Amara dan mengetuk pintunya, Amara keluar dari balik pintu

"Keyra-"

"Apa ini maksudnya" aku menunjukkan buku diary Amara, Amara menatapku terkejut dan langsung mengambil buku diarynya

"Bagaimana bisa ada di kamu?"

"Kamu suka Olva?" aku tak menghiraukan pertanyaan Amara. Amara menyembunyikan buku diarynya dibalik punggungnya. Amara hanya menunduk dan diam, isak tangis terdengar samar, kemudian ia mengangguk lemah, hatiku terasa kecewa bagaimana bisa Amara melakukan itu?

"Olva itu perempuan, kamu juga.., bagaimana bisa kamu menyimpan perasaan padanya!"

Amara merobohkan pijakannya, ia berlutut padaku tentu saja aku tidak tega tapi entah kenapa aku masih marah, aku menarik kasar pakaian Amara membuat dia berdiri sejajar denganku

"Maafkan aku hiks.., maafkan aku.."

Amara menarik tanganku, mencegahku yang hendak pergi "Keyra kumohon maafkan aku.., jangan membenciku hiks.."

Aku menghentak genggaman Amara di tanganku "Olva baik karena kita sahabatnya.., bukan karena menyimpan perasaan seperti yang kamu kira!"

"Mati saja! dasar homo menjijikkan!"

Pikiranku benar benar kacau, kenapa aku mengatakan hal yang begitu jahat kepada Amara, aku ingin meminta maaf tapi aku masih belum berani bertemu Amara

Keesokan paginya aku pergi kerumah Amara, tapi terdengar suara yang begitu ribut dari dalam membuatku memundurkan kakiku dan mengurungkan niatku untuk bertemu Amara

"Amara gak sekolah?" tanya Olva saat aku sampai di depan rumahnya, aku menggeleng pelan sebagai jawaban

Aku benar-benar tak bisa fokus, pikiranku masih kacau dan rasa bersalah terus menghantuiku

"Keyra lo gak papa?" Olva menepuk bahuku dan refleks aku langsung memeluknya, aku tidak bisa menyimpan ini sendirian

"Aku mengatakan hal kasar pada Amara hiks!"

Olva menatapku "Apa yang terjadi?"

"Lo gila Keyra!, Amara itu depresi, dia trauma sama ayahnya, gue tau lo homophobia tapi lo gak seharusnya bilang gitu ke Amara"

Respon Olva setelah aku menceritakan semuanya membuatku semakin sadar bahwa aku bersalah. Aku tau aku keterlaluan kepada Amara, seharusnya aku tidak sejahat itu, tidak mengatakan hal jahat padanya, rasa bersalah benar-benar menyelimuti hatiku, aku ingin bertemu dengan Amara

Tidak peduli aku masih di sekolah atau dengan pelajaran selanjutnya, aku memutuskan untuk membolos dan pulang aku harus segera meminta maaf pada Amara. Olva mengikutiku, sepanjang perjalanan ke rumah aku terus menangis

Aku langsung masuk kerumah Amara yang tidak terkunci, tidak ada siapapun di rumah, berkali-kali memanggil nama Amara namun tak ada yang menyahut, rumahnya berantakan di ruang tamu penuh dengan minuman keras, aku berjalan menuju kamar Amara

"AMARAA!"

Aliran darahku terasa berhenti, saat aku menemukan Amara tergeletak di kamarnya dengan bersimbah darah. Olva dan aku langsung memeluk Amara, tubuh Amara terasa sangat dingin, banyak luka sayatan di pergelangan tangan kirinya, Olva mengecek denyut nadi Amara tapi itu tak berdetak sedikitpun, Olva mengecek hidung Amara tapi tak ada hembusan nafas apapun

"Tidak Amara.., maaf.., maaf aku mohon jangan seperti ini..,hiks!..hiks!.."

Aku mengambil buku diary Amara yang terletak tak jauh, ada tulisan baru Amara disana, tulisannya dipenuhi oleh tetesan darah

Hai ini Amara..
Amara yang menjijikkan, sangat menjijikkan, Amara yang dibenci oleh semua orang, dibenci oleh sahabatnya, dibenci oleh Keyra. Aku sudah mengalah pada semesta, aku tidak mau berada pada tempat dimana semua orang membenciku, aku menyerah. Keyra kumohon maafkan aku karena membuatmu kecewa dan Olva kumohon maafkan aku karena telah menyukaimu. Terimakasih mau berteman dengan orang menjijikkan seperti Amara, sampai jumpa..

Aku menatap Olva yang kini matanya memerah, Olva menarik kerah seragamku kasar, aku kembali menundukkan pandanganku tak berani, aku benar-benar seorang penjahat

"Kenapa lo mengatakan hal jahat pada Amara hiks!, Amara trauma dengan ayahnya!"

"Sebagai sahabag lo seharusnya melindunginya memberinya rasa aman hiks.., bukan malah menghakiminya seorang diri!"

"Lo pembunuh Keyra!"

-⚘

"Setelah kematian Amara, Olva tidak mau lagi berbicara padaku, dia membenciku.."

"Aku didiagnosa mengidap penyakit leukemia dan satu tahun berjuang dengan penyakitku, ayah meninggal karena kecelakaan di tempat kerjanya. Bunda harus bekerja mati-matian untuk menanggung biaya rumah sakit anaknya yang sangat mahal.."

"Ini adalah karma dan hukuman yang semesta berikan.."

Tatapan pada kedua netra Keyra terlihat sangat kosong "Bunda terlalu banyak menghabiskan uangnya untuk hal yang sia-sia. Aku tidak akan sembuh Abra.."

"Kamu pasti sembuh Keyra"

Keyra menggeleng "Jangan menghiburku, aku bahkan bisa merasakan dia semakin dekat"

Keyra menggeleng "Jangan menghiburku, aku bahkan bisa merasakan dia semakin dekat"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Tbc

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang