Bab.4

10 4 5
                                    

"Siapa tadi?"

Jarak mereka masih agak jauh, tetapi sebuah pertanyaan sudah keluar dari bibir Rasyied.

"Pelanggan loundry," jawab Ira singkat.

"Kayanya bahagia banget ngobrol berdua tadi sampai gak peduli sama yang udah nungguin lama di sini!"

"Ya bahagia, lah, namanya ada pelanggan,"

"Oh, senang, ya, dapat pelanggan laki-laki kaya tadi?"

Ira tersenyum masam, apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran lelaki yang duduk di depan Ira saat ini.

"Jadi, Mas mau apa ke sini? Mau ngajak berantem aja?"

"Kok berantem, aku cuma tanya, lo, Dek!"

"Apa yang Mas tanyain tadi hal yang penting?"

"Iya, lah! Seharian kamu gak ada kabar, pas aku dateng ke sini malah lihat lagi ngobrol asik sama laki-laki gak jelas!"

"Sudahlah, aku capek, Mas! Seharian ngurus loundry, mau istirahat dulu!" kata sambil melangkah ke arah pintu, tetapi terhenti karena Rasyied menghalangi.

"Aku belum selesai ngomong, Ra!"

Ira mengibaskan tangan Rasyied yang memegang tangannya dia berbalik dan menatap lelaki itu.

"Mau bicara apa lagi?" tantang Ira.

"Oh, kamu jadi berani bentak aku sekarang, ya, Ra! Apa gara-gara laki-laki tadi?"

"Terserah kamu saja!" Ira sudah malas berdebat. Ujung-ujungnya akan tetap sama seperti biasa. Kali ini dia tidak mau lagi banyak bicara. Kalau memang hubungan mereka harus berakhir saat ini Ira tidak masalah.

Tanpa memedulikan reaksi Rasyied, Ira berlalu dan masuk ke dalamn
. Beberapa kali dia mendengar Rasyied memanggil namanya tapi wanita itu tetap berlalu.

Rasyied hanya bisa memandang Ira yang berjalan masuk ke dalam rumah. Ada apa dengan wanita itu, tanyanya dalam hati. Tidak biasanya Ira bersikap sekasar itu padanya. Bukankah apa yang dia tanyakan tadi wajar-wajar saja? Selama ini Ira selalu bersikap lembut dan jarang sekali marah apalagi menentang dia seperti tadi. Sudah pasti, Ira berani seperti itu karena pengaruh lelaki tidak jelas tadi. Namun, siapa dia? Sepertinya dia belum pernah melihat laki-laki tadi. Apa dia orang baru di kota ini?

Karena tidak ada alasan lagi untuk tetap di sana, Rasyied memutuskan pergi dari rumah Raka. Ah, hari masih sore, masuk kerja juga masih lama, apa yang harus dia lakukan?

Rasyied memilih melajukan kendaraannya ke sebuah kedai kopi langganannya. Siapa tahu di sana nanti bertemu dengan teman-temannya sehingga bisa meredakan kekesalan hatinya saat ini.

🎀🎀🎀

"Kenapa, Ra? Kok kedengarannya ada ribut-ribut?" tanya Anggi  saat melihat adik iparnya duduk sambil meminum segelas air putih dingin.

"He-he-he, Mba denger?" Ira memastikan.

Anggi mengangguk, "Iya, sekilas tadi denger Rasyied manggil-manggil kamu. Kenapa? Kalian berantem lagi?"

"Iya, tahu lah, Mba. Aku capek ngeladenin dia." keluh Ira.

"Kalau gitu mending kamu pikir-pikir lagi deh, Ra, mau lanjutin hubungan kalian ke yang lebih serius atau enggak," saran Anggi.

"Aku masih bingung, Mba. Kadang merasa gak nyaman sama dia."

"Kalau udah gak nyaman, ngapain di lanjut, Ra?"

Ira tidak langsung menjawab, wanita itu memandang gelas yang ada di tangannya saat ini. Apa memang harus diakhiri saja hubungannya dengan Rasyied? Toh sampai saat ini belum ada kepastian hubungan mereka akan ke mana. Namun apa alasan yang akan Ira pakai?

"Ra!" Karena adiknya tak kunjung menjawab, Anggi kembali memanggil.

Ira menoleh ke arah Anggi, apa dia harus minta pertimbangan atau saran tentang hubungannya dengan Rasyied dari kakak iparnya ini?

"Nanti aku pikir lagi, deh, Mba. Sekarang mau mandi dulu, bentar lagi Magrib, kan?"

Anggi hanya mengangguk, sejujurnya dia tahu kegelisahan hati Ira. Setelah sekian lama adiknya menyendiri, akhirnya Ira mau membuka hati, tetapi sepertinya belum sepenuhnya adiknya itu menerima kehadiran Rasyied.

🎀🎀🎀

"Mahira," ucap Putra lirih setelahnya, lelaki itu tersenyum. Dia sedang membayangkan wajah Mahira saat sedang mengomel kepadanya tadi.

Entah mengapa tiba-tiba pikirannya dipenuhi nama wanita itu. Tidak ada yang istimewa dari wanita itu menurutnya. Tidak terlalu cantik, tapi tidak jelek juga. Dengan tinggi minimalis, wajah bulat dan mata sedikit belo, tapi kenapa ada hal yang membuat wanita itu menarik. Sampai sekarang Putra masih memikirkan apa yang membuatnya tetap mengingat Ira. Eh, benar, kan, panggilannya Ira?

"Put, kamu langsung pulang?" tanya Adhi setelah meneguk kopi hitam pesanannya tadi. Lelaki bertubuh agak tambun itu merapikan kertas yang berserakan di meja.

Merasa pertanyaannya tidak mendapat jawaban, Adhi menoleh ke arah Putra. Dilihatnya temannya itu seperti orang yang sedang melamun. Kenapa lagi, orang ini, batin Adhi. Sepertinya hari ini memang tingkah laku Putra aneh. Apa iya terlalu lama sendiri bisa membuat orang jadi tidak waras?

Putra masih asyik larut dalam lamunannya sehingga dia tidak menyadari jika Adhi memperhatikan dirinya.

"Put!" Kali ini suara Adhi lebih keras, bahkan dia juga menepuk pundak Putra juga dan membuat lelaki itu kaget.

"Astaga! Apa toh, Mas, bikin kaget aja, sih!"

"Mikir apa, sih, sampai gak denger aku ajak ngomong daritadi?"

"Hah? Eh, gak mikir apa-apa," elak Putra.

"Heleh! Kalau gak mikir apa-apa masa iya daritadi tak tanya diem bae?"

"Memangnya ngajak ngomong daritadi?"

Adhi menggelengkan kepalanya, sepertinya memang terjadi sesuatu dengan temannya ini.

"Kamu kenapa, to?"

"Enggak apa-apa, Mas. Aku cuma teringat tadi pas di laondry. Tadi siang aku yang marah-marah, eh, pas aku datang ke sana lakok ganti aku yang di marahi," Putra tanpa sadar bercerita.

Kini kebingungan berpindah ke Adhi, kenapa dengan loundy? Apa masalah tadi siang belum beres? pikirnya.

"Dimarahi sama siapa?"

"Sama Mbak yang di loundryan itu, dia ngomel-ngomel pas aku datang tadi."

Dari wajahnya jelas Adhi masih bingung, jadi Putra dari tadi diem, ngelamun tidak jelas gara-gara Mbak Loundry?

"Eh, Mas Adhi kenal sama dia, kan?"

"Loundry yang mana? Ceria?"

"Iya," jawab Putra.

"Oh, iya, kenal. Mba Ira?"

"Nah, iya!" semangat Putra.

"Masa dia marah-marah ke kamu, orangnya baik gitu."

"Ya itu makanya lucu, Mas!"

"Cie, kiw-kiw,"

"Kenapa?" tanya Putra heran.

"Ekhm, ada yang lagi jatuh cinta, nih."

"Ndak gitu lo, Mas. Lucu aja dia," elak Putra.

"Iya, lucu sampai bisa buat seorang Putra tertawa sendiri dan bengong kaya orang bodoh?" sarkas Adhi.

"Ha-ha-ha, apa sih, Mas. Udah malam, pulang dulu, takut dimarah Ibu,"

"Ck, dari tadi juga udah tak ajak pulang, sameane sik gak jelas!" gerutu Adhi sambil berdiri dan melangkah keluat daei kafe tempat mereka nongkrong diikuti Putra di belakngnya.

Maaf kalau banyak typo, belum tak edit, langsung update🙏

Makasih yang udah mampir🥰

Merajut HarapanWhere stories live. Discover now