9. Bukan Yang Asli

6 4 0
                                    

MUNGKIN empat kata terakhir itu akan selalu Aru ingat, tetapi bukan berarti Aru akan mempercayai sepenuhnya. "Duh, Mozart itu 'kan, manis, menawan, tampan. Memangnya dia bisa menipu?" Aru bergumam sendiri di koridor tempatnya latihan.

Semua orang sudah pergi beberapa menit lalu. Orion yang dia ajak diskusi pun memutuskan beranjak duluan. Terjadi perdebatan panjang dengan anak lelaki itu. Aru berpikir, alasan Orion pulang duluan mungkin karena kesal dengan perkataannya.

Aru sendiri tidak masalah ditinggal pergi seperti itu, toh, Orion juga bukan orang yang penting-penting amat. Jadi, dia tidak terlalu memikirkannya.

Sepatu balet yang masih dia kenakan menggema di sepanjang koridor ini. Tadi, sebelum Aru berbelok ke sebelah kanan-menuju koridor lain-dia melihat jam yang menggantung di dinding.

Pukul empat lewat dua puluh menit, sebentar lagi pukul setengah lima pas. Itu artinya, Aru akan berubah menjadi itik. Karenanya, dia pun melajukan dirinya secepat mungkin. Keluar dari gedung latihan menuju asrama atau Danau Marshincez. Dia tidak mau jadi itik di gedung ini, dan berakhir menginap di sini.

Telah beredar rumor hantu wanita yang menari balet tengah malam dengan iringan musik Putri Sugar Plum. Salah satu teman sekelas Aru yang menceritakannya, dan Aru selaku gadis yang menyukai rumor pun, mendengarkan cerita itu dengan saksama bersama Jasmine yang juga menyukai rumor dan cerita mistis. Meski Aru menyukai rumor, tentunya dia masih paham kalau itu hanya rumor belaka, tetapi, kalau dia sampai betulan menginap di sini, dia tak akan sudi.

Aru terus melangkah. Melewati beberapa pintu dan ruangan di kanan-kiri. Dia pun berbelok lagi ke sebelah kiri, dan begitu dia berbelok, dia melihat Mozart di sana. Berdiri menghalangi jalan keluar sambil menatap Aru memesona.

Aru semringah melihatnya. Tidak mengira kalau Mozart masih di sini.

"Mo-Mozart?" Aru bahkan memanggil namanya dengan gelagapan. Salah tingkah karena mungkin, Mozart sedang menunggunya. "A-apa yang kau lakukan di sini?" Aru bertanya, hendak memastikan apakah yang dia pikirkan benar atau tidak.

Mozart terkekeh. Dia mendekat secara perlahan ke arah Aru. "Aku sedang menunggumu."

Mendengar jawaban itu, langsung membuat hati Aru berdegup kencang. Degupannya amat bising sampai membuatnya ingin menari. Namun, Aru tidak mungkin melakukannya karena dia tidak ingin terlihat memalukan di depan Mozart. Jadi, yang dilakukannya saat ini adalah berdiri di tempat dengan mata berbinar dan membiarkan Mozart mendekat.

Ya, Dewi, nikmat mana yang kau dustakan? Aru membatin, seolah kakinya meleleh. Mozart benar-benar mendekat ke arahnya secara suka rela. Matanya yang cokelat keemasan menatapnya dalam, senyumnya yang hangat dan lembut benar-benar memabukkan, lalu langkahnya yang tegas nan elegan membuatnya rela menunggu untuk bisa dijemput.

Aru tidak sabar. Tidak sabar untuk melihat Mozart dari dekat.

Ketika Mozart masih melangkah, mata Aru refleks menatap ke bawah. Hendak salah tingkah lagi. Namun, dia tiba-tiba langsung mematung dan otaknya pun refleks mengingat wejangan dari Orion.

"Dia bukan Mozart." Orion berkata setelah Mozart, Marceline, dan Rose, pergi. "Mozart yang asli, akan selalu mencintai Marceline. Mozart yang asli, tidak akan dengan seenak jidat mendekati gadis lain, apalagi gadis kurang cantik sepertimu."

"Apa?" Aru berseru tertahan, merasa tersinggung. Orion melanjutkan, mengabaikan ekspresi Aru yang tampak emosi. "Aku lumayan kenal Mozart, dan dia sendiri memiliki standar yang lumayan tinggi perihal gadis yang disukainya. Kau sendiri apa tidak merasa aneh? Mozart tiba-tiba mendekatimu, lalu dengan seenak jidat mengajakmu berduet. Kalau disuruh Bu Ynaiv melakukan Pas de Deux di saat Marceline tidak ada, dia kemungkinan akan melakukannya secara terpaksa dan pastinya tidak akan memilihmu. Dia pasti akan langsung memilih Rose, orang kepercayaan Marceline."

"Ke-kenapa kau bilang begitu?" Aru mengernyitkan dahinya. Tidak suka topik pembicaraan yang tiba-tiba ini. "Kau tidak suka Mozart dan ingin membicarakan bagian jeleknya padaku?"

"Eh, tidak. Bukan begitu." Orion menyahut sambil mengibaskan kedua tangannya. "Sebagai rekan, aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa Marceline tidak suka kau didekati oleh Mozart."

"Tentu saja dia tidak suka. Dia 'kan tidak terima kalau Mozart memutuskannya."

"Apa?" Orion mengangkat sebelah alis-meski secara visual, alisnya tertutup poni. "Mozart dan Marceline, putus?"

Aru mengangguk. "Iya."

"Duh, terus terang saja. Aku tidak tahu dari mana kau menyimpulkan demikian. Intinya, mereka berdua masih belum putus!"

"Apa?" Aru melotot, tak terima. Orion kembali menjelaskan. "Iya, mereka belum putus, dan tidak putus. Itulah alasan kenapa Marceline selalu masuk ke ruang latihan. Tentunya untuk mengawasi dirimu dan Mozart. Bukan hanya semata-mata karena dia cemburu, tapi dia ingin memberimu sebuah peringatan."

"Peringatan apa? Peringatan agar aku tidak mendekati Mozart? Peringatan bahwa dia akan mengintimidasiku bersama Rose selaku teman satu geng-nya? Baiklah, aku tidak takut."

"Tidak Aru, bukan begitu." Orion lagi-lagi mengibaskan kedua tangannya. Aru kembali bersuara, "bukan begitu apanya? Jelas-jelas gadis itu tidak menerima fakta kalau dia telah diputuskan oleh Mozart. Dia juga tidak menerima bahwa Mozart lebih tertarik padaku daripada dia!"

"Apa? Mozart ... tertarik padamu?" Orion bertanya dengan nada tidak menyangka. Aru mendengkus, mencoba menahan emosinya. Pipinya juga memerah. Menahan amarahnya sekuat tenaga. "Iya, dia tertarik padaku, memangnya kenapa? Kau iri? Tak terima? Mau mengejekku sebagai gadis bodoh nan halu? Silakan! Aku, tidak butuh pendapatmu!" Aru berkata dengan sengit. Seolah mengajak Orion untuk beradu argumen dengan tatapan menantang. Wajahnya bahkan terulur ke wajah Orion, dan secara tidak langsung meminta anak itu untuk membalas perkataannya.

Orion sendiri mundur secara perlahan. Kedua tangannya terangkat. "Aru ... kau sudah gila."

"Apa maksud-"

"Aru, dengar. Jika kau bertemu dengan Mozart setelah ini, kau lihatlah bayangannya. Jika bayangannya berbeda dengan tubuhnya, larilah sekuat mungkin," pesannya. Setelah dia mengambil tasnya, dia pun berlalu dari ruang latihan.

Aru mematung, tetapi dia juga tidak peduli. Perasaannya terhadap Mozart adalah urusannya, dan Orion tidak berhak ikut campur. Kalau anak itu melarang Aru menjalin hubungan secara diam-diam-menjadi orang ketiga di antara hubungan Mozart dan Marceline-Aru tak akan peduli. Yang penting baginya, Mozart mau bersamanya, sudah mulai mencintainya, dan bahkan dengan suka rela mau mendekat ke arahnya.

Aru menang. Dia sudah memenangkan hati Mozart.

Yang dia pedulikan saat ini adalah Mozart sudah tertarik padanya, dan perlahan tetapi pasti, lelaki itu juga mulai menjauhi Marceline.

Mozart. Orang yang selama ini dia sukai diam-diam, akhirnya berada dalam genggamannya. Utuh. Hanya miliknya seorang.

Sekiranya, itulah yang ada dipikiran Aru saat dia masih ada di ruang latihan, dan setelah dia melihat apa yang dilihatnya-dengan mata kepalanya sendiri-akhirnya Aru membuat kesimpulan baru.

Kesimpulan yang lebih waras, kesimpulan yang membuatnya tersadar sangat cepat bahwa kemungkinan dia dan Mozart tidak akan pernah bersama.

Di bawah, di lantai ini, di tempat di mana dirinya dan Mozart berpijak. Aru melihat bayangan orang dewasa. Bayangan seorang pria kurus dengan dua sayap hitam di punggungnya, dan bayangan pria kurus itu, menyatu dengan dua kaki Mozart.

"Aru ...." Dengan lembut, Mozart memanggil. Membuat Aru yang semula terdiam menatap lantai jadi refleks menatap wajahnya. "Kau tidak mau memelukku, gitu? Kau menyukaiku, 'kan?" tanyanya.

Badan Aru gemetar hebat, wajahnya pucat pasi, dan dia berkeringat. Apa yang Orion katakan sukses terngiang di kepalanya, dan juga, sukses membuatnya patah hati.

Aru benci sekali dengan rasa sakit ini, tetapi mau tak mau, suka tak suka, dia harus menerimanya.

"Mozart yang asli, akan selalu mencintai Marceline."

"Apa?" Mozart bertanya, tak mendengar gumaman Aru yang terdengar pelan.

Aru kemudian menatap Mozart dengan tajam. Kedua tangannya terkepal, berselimut amarah, rasa takut, dan rasa ditipu.

"Kau bukan Mozart."

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang