FIFTEEN: The Truth

212 34 27
                                    

Warning: Sedikit panjang dan di dominasi oleh dialog. Dan chapter ini berada di satu waktu yang sama dengan chapter 11.

 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄

Yeonjun's POV

 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄


Malam itu, aku benar-benar angkat kaki dari rumah mewah milik dokter Choi. Aku berjalan lurus tanpa arah, tanpa kendaraan, dan tanpa tujuan, hanya kaki yang entah akan berhenti sampai di mana. Aku menggosok mataku yang sudah bengkak. Aku menangis sepanjang perjalanan. Hatiku terasa penuh namun hampa di saat yang bersamaan. Ingin rasanya aku berteleportasi ke mana pun Taehyun sedang berada, lalu mendekap penuh hangat adikku yang sempat hilang... Rindu mendalam yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, maka malam ini rasa itu melesak hadir.

Memoriku berputar mundur, aku mangingat pertemuan "pertama"ku dengan Taehyun di ruang kesehatan sekolah. Sayang sekali, pertemuan pertama kami yang harusnya indah dan penuh haru, namun nyatanya itu adalah permulaan dari siksa sakit yang tak berujung. Aku terbayang lagi saat Taehyun menggenggamku erat, berlindung dari sakitnya yang menghujam kala itu. Aku menyesal karena tak menghiraukan sensasi aneh yang aku alami saat Taehyun melakukan itu. Aku menyesal tak menaruh curiga pada marga Kang yang tersemat di name tag seragam sekolah miliknya waktu itu. Aku ingin merasakan sensasi itu lagi, namun jelas bukan sebagai orang asing yang sekedar menolong, melainkan seorang kakak yang merawat sang adik di kala sakit.

Aku meringis saat perasaan yang membuncah itu tak lagi tertahankan. Tanganku merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel yang sejak tadi tak henti bergetar. Dokter Choi membombardir ponselku dengan puluhan panggilan suara dan ratusan pesan masuk. Aku mengabaikan semuanya, tak berminat sedikitpun membuka satu pun pesan yang masuk. Jariku mengetik beberapa nomor di halaman panggilan, setelah menekan tombol hijau, panggilan suara mulai terhubung. Sekarang aku punya tujuan.

"Layanan darurat 119? Aku tersasar dan butuh taksi, aku tidak tahu sedang berada di mana, GPS-ku tidak terlacak, tapi aku yakin lokasiku masih di Seoul... Baik, aku akan menyebutkan beberapa ciri-ciri tempatnya—"

Saat sedang melihat apa saja yang ada di sekeliling, aku di silaukan dengan lampu mobil dari kejauhan. Aku menyipitkan mataku, merasa mengenali nomor polisi yang tertera di plat besi mobil tersebut. Setelah yakin aku benar, aku langsung menutup panggilan secara sepihak tanpa takut di cap usil oleh pihak layanan darurat.

Mobil itu sempat melewatiku. Namun sesuai dengan perkiraan, mobil itu berhenti meski cukup jauh dari tempatku berdiri. Aku melebarkan senyumku, setengah berlari aku menghampiri mobil itu. Benar saja, si pemilik mobil itu —orang yang menempati daftar teratas di list manusia yang paling aku benci.

 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄


"Terimakasih sudah mengizinkan aku untuk mengendarai mobilmu lagi, appa."

Harus aku bawa ke mana mobil ini? Pohon besar? Jurang? Laut dalam? Tebing menjulang?

Terlalu banyak jalan menuju mati. Tapi kenapa orang tua ini masih hidup sampai sekarang? Dia pikir hanya dengan mabuk, dia akan mati? Bodoh. Tidak tahu malu.

"Ternyata benar itu kau, Daniel. Aku merasa bersalah sudah acuh pada Dongmin yang memberitahuku bahwa teman Kai yang bernama Yeonjun, sebenarnya adalah Daniel —anak sulungku."

Aku tidak memiliki ekspetasi apa pun padanya. Wajahnya juga tampak datar, tidak ada ekspresi senang mau pun haru. Bonding antara kami benar-benar kacau. Tak tertolong lagi.

TWIN FLAME ◍ [Taehyun & HueningKai]Where stories live. Discover now