06. Tujuh Belas Tahun

173 112 87
                                    


"Semoga Tuhan dan semesta merestui aksi menyerahnya, dia sudah bertahan tegap terlalu lama

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Semoga Tuhan dan semesta merestui aksi menyerahnya, dia sudah bertahan tegap terlalu lama."

***

Foto diri dari wajah hingga batas dada, latar belakang yang polos dengan warna tak mencolok dan senyum yang merekah tanpa menunjukkan gigi itu terpampang terbingkai hitam. Diletakkannya foto bayi mungil yang sudah bertumbuh dua gigi itu di atas laci panjang di ruang keluarga. Ruang.., keluarga?

Rumah yang sama berantakannya seperti hari-hari lalu, kerusuhan antara tangisan bayi tak tahu-menahu dan bentakan yang nyaring terdengar. Sekali-kali suara barang yang dibanting atau dilempar dengan sengaja itu memamerkan kehancurannya yang benar-benar lebur hingga tak mampu lagi dibentuk. Tumpukan sampah yang dibiarkan menyerbakkan aroma tak sedapnya dari sudut dapur telah didiamkan sejak seminggu lalu, mungkin.

Entah berantah cara keluarga kecil ini bertahan. Umpatan demi umpatan terlontar sejak fajar menenggelami diri, diiringi dengan tangisan bayi yang tak kunjung henti meski umpatan itu tertahan beberapa saat. Perasaan dan kepekaan bayi jauh lebih sensitif, orang dewasa seringkali tak mampu memahami. Rumah yang ditempatinya ini bukan rumah yang sesungguhnya. Keluarga yang ia datangi tak pantas menerima raga dan jiwanya. Tapi dia tidak salah, dia tak tahu apapun. Tuhan juga tidak salah, Dia Maha Tahu yang terbaik dari yang terbaik.

Rumah dengan ruang bawah tanah yang dikunci dan disembunyikan, meletakkan sofa panjang menjadi upaya. Ruang bawah tanah yang dua tahun lalu menjadi sumber jeritan sengsara terbesar. Ruang bawah tanah yang selama tujuh belas tahun menyaksikan tumbuh kembangnya seorang malaikat berjelma manusia tangguh, yang memilih untuk menyerah dua tahun lalu. Ruang bawah tanah yang penuh coretan kata dan gambar, perekam jejak hidup nan abadi.

"DATANGNYA DIA BUKAN SALAHKU! MAKA MATINYA PUN BUKAN SALAHKU!"

"Dasar wanita murahan! KALAU KAU TIDAK MENYIKSANYA BELASAN TAHUN, DIA MASIH HIDUP!"

"LALU?! HARAPMU HANYA SEBATAS MENJADIKANNYA BUDAK! SAMA SAJA, SIALAN!"

***---***

"Apa sebaiknya aku memotong rambutku, ya?" Tanya Alisa pelan hampir tak terdengar, tak ingin orang-orang di sekitar menganggapnya gila karena berbicara dengan kupu-kupu. Musim mulai beralih menjadi lebih dingin, siang tak lagi panas. Alisa mengencangkan kain syal yang memeluk erat leher serta bahunya.

Matilda memposisikan dirinya tepat di atas sudut papan nisan. Papan nisan yang dikatakan mungkin tak selayak makam-makam yang lain. Hanya papan kayu yang dipotong dengan gergaji dalam waktu singkat, terburu-buru. Nama penghuni yang ditulis menggunakan tinta yang tak ditunggu mengering, aliran sisa tintanya terlihat, bekas tetesannya mengucur. Makam yang penuh rumput liar tinggi tak terawat, tak ada bunga, tak ada basah, tak ada pengunjung.

"Jika memang kau mau dan suka, silakan," jawabnya lembut. Menyimpan energi untuk menegaskan gadis yang dibimbingnya nanti, kala matahari tenggelam hingga ke dasar dan bulan sampai di puncak.

Si Pembunuh "Alisa"Donde viven las historias. Descúbrelo ahora