Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga Aryaatmaja adalah keluarga yang dermawan. Bukan hanya menjadi donatur di banyak Yayasan, mereka juga memiliki banyak anak asuh dan memberikan banyak beasiswa pendidikan, tapi diantara banyaknya anak yang beru...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Acha, aku benar-benar minta maaf soal tadi, Cha. Jangan ngambek lagi."
Berlari aku mengejar Harsa, melewati Bapak dan Ibu yang keheranan dengan kami yang saling berkejaran. Bapak bahkan mengalihkan perhatian beliau dari dua orang tentara yang sedang berkonsultasi dengan beliau hanya untuk melihatku yang mengejar putri kesayangannya.
"Kenapa sama Acha?" Tanya Bapak dan Ibu bersamaan. Satu hal yang menyebalkan dari pasangan suami istri yang egois hanya memiliki satu anak ini adalah mereka berlebihan jika menyangkut anak perempuan mereka tersebut. Tatapan Bapak begitu tajam, belum apa-apa beliau menyorotku seolah akulah yang sudah membuat anaknya kesal.
Sungguh tidak adil bukan? Mereka mengatakan aku anak asuh mereka namun tetap saja ada batas tak terlihat yang membuatku harus sadar diri jika aku bukan bagian dari keluarga Aryaatmaja. Berusaha bersikap seolah aku adalah Nadira yang polos dan manis, aku memaksakan mataku hingga berkaca-kaca saat melihat Bapak dan Ibu yang menunggu jawabanku.
"Nad tadi bercanda sama Bang Naren, tapi kayaknya bercandaan Nad keterlaluan Bu, sekarang Acha marah sama Nad."
Tidak, aku tidak akan berkelit dari kesalahanku, orang-orang naif macam orangtua asuhku ini lebih menghargai seornag yang mengakui kesalahan mereka secara langsung dibandingkan membela diri, bertahun-tahun hidup dengan orang-orang yang pola pikirnya berseberangan membuatku banyak belajar bagaimana caranya melindungi diriku sendiri.
"Ya sudah, kejar gih si Acha. Minta maaf yang bener, kalau tahu Acha nggak suka kamu bercanda kayak gitu, jangan diulangin lagi."
Rania Aryaatmaja, beliau dan sikap sok bijaksananya sudah lama membuatku muak. Menurut perintah beliau aku bergegas untuk pergi, mengejar Acha yang kini ada di halaman belakang, saat aku mengatakan hidup Harsa seperti tuan putri itu memang nyata adanya.
Rumah keluarga Aryaatmaja ini sangat besar, dengan halaman yang luas. Masa pensiun Bapak yang hanya tinggal satu tahun lagi membuat beliau membangun rumah ini super nyaman untuk masa tua beliau. Tidak hanya ada kolam renang, ada kandang burung besar tempat Bapak mengoleksi burung-burung eksotis dan ada juga kebun mini tempat Ibu menanam tanaman pangan seperti cabai, terong, tomat, dan juga kemangi, sangat tidak elite bukan? Tapi bukan ditempat-tempat itu aku menemukan Acha, melainkan disudut paling luas tempat terjauh dimana Bapak dan ajudannya sering berlatih menembak.
Dan yang menyebalkan, Harsa ada disana, bergaya dengan peralatan menembaknya. Ciiihhh, aku diam ditempatku, menahan rasa sebal yang membumbung tinggi melihat perempuan manja itu berulah. Gegayaan megang pistol, pakai kacamata dan headphone segala, sok bisa saja itu pengangguran.
"Halah, caper aja bisanya sama Bang Naren!" Cibirku dalam hati saat mendekatinya yang kini bersisian dengan Bang Naren yang juga memegang pistol-nya, bersiap untuk membidik sasaran. Kalau Bang Naren tidak perlu diragukan lagi, secara dia kan Polisi, sudah pasti dia menguasai hal-hal seperti ini.
Sayangnya cibiranku berganti dengan kengerian karena saat Harsa menarik pelatuknya, sasaran itu melesat tepat ke titik fokus yang ada di ujung sana. Sungguh apa yang dilakukan Harsa diluar dugaanku. Aku sempat berpikir itu hanya sebuah kebetulan tapi saat Harsa beralih ke fokus selanjutnya, tembakannya tetap tepat sasaran. Satu lagi hal yang membuatku semakin iri kepada Harsa, terlebih saat Bang Naren mengacak rambut Harsa penuh rasa bangga, sungguh itu membuat hatiku tercubit. Aku ingin aku yang ada di posisi Harsa, statusnya sebagai putri tunggal keluarga konglomerat dan berpengaruh di dunia militer membuatnya bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa aku lakukan.
"Udah ya keselnya, jangan marah lagi."
Bisa aku dengar Bang Naren membujuk Harsa, dibandingkan pasangan Bang Naren lebih mirip seperti pengasuh Harsa, sama seperti posisiku selama ini untuknya.
"Aku stress masalah kerjaan, Bang. Rasanya ada nggak tega ngeliat target bener-bener baper, ya masalahnya kalau cuma targetnya sih bodo amat, tapi waktu ketemu sama orangtuanya, aku ngerasa berdosa."
"Nggak apa-apa, Cha. Itu resiko kerjaan, pelan-pelan kamu pasti terbiasa. Kalau sampai kamu bisa ditahap bertemu orangtuanya, berarti pekerjaan kamu benar-benar sukses."
Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa menerkanya. Soal pekerjaan? Lucu sekali mendengar Acha yang pengangguran berbicara tentang dia yang stress soal pekerjaan. Namun mengabaikan semua hal itu aku mendekatinya, kubuat wajahku semenyesal mungkin dan kali ini Harsa sudah tidak seganas sebelumnya.
"Acha...."
Belum sempat aku membuka mulutku untuk meminta maaf lagi, saat mata kami bertemu, Harsa sudah memelukku terlebih dahulu yang membuatku membeku.
"Maafin aku ya, Nad. Sorry udah lampiasin kemarahanku ke kamu. Aku benar-benar sedang stress, Nad. Sampai-sampai aku mikir yang nggak-nggak soal kamu."
Mendapati permintaan maaf Acha yang sangat terduga ini aku mengangguk pelan, dari punggung Acha, aku melihat Bang Naren tersenyum ke arahku sembari mengangguk seolah memintaku untuk memaafkan tunangannya. Hatiku melambung, penuh dengan debaran yang menyenangkan mendapati senyuman mempesona itu diperuntukkan untukku.
"Nggak apa-apa, Cha." Balasku seadanya. Perlahan Harsa melepaskan pelukannya, menatapku sejenak sebelum dia memelukku kembali.
"Bodoh banget aku mikir kamu suka sama Bang Naren. Kita sudah kayak saudara, aku percaya kamu, dan mustahil saudara makan daging saudara lainnya."
Sayangnya, aku memang berencana merebut tunanganmu, Harsa Anindya. Aku tidak ingin dagingmu, tapi aku ingin memiliki kehidupan yang kamu miliki sekarang ini.