17. Sendiri

42 8 1
                                    

.
🩶HAPPY READING🩶
.



Mentari pagi menyapa taman ketenangan, embun yang masih menetes di dedaunan seolah menjadi permata yang berkilauan, memantulkan cahaya matahari yang lembut.

Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah timur ke barat membawa aroma bunga-bunga yang bermekaran di sekitar batu nisan, batu nisan yang tertata rapi bagaikan lukisan alam yang memesona, seolah-olah menjadi saksi bisu dari kehidupan yang telah berlalu.

Askara berjalan perlahan menyusuri jalan setapak, dia diikuti oleh Dillan. Tanah yang mereka pijak masih sedikit basah akibat hujan semalam, tapi mereka bisa merasakan kehangatan dan ketenangan yang menyelimuti saat berada di tempat itu. Sejuk dan damai.

Dari kejauhan, Askara melihat seorang gadis yang menunduk menangis di depan gundukan tanah yang masih terlihat baru, masih basah dan di taburi bunga yang masih segar. Askara dan Dillan melangkahkan kaki menghampiri gadis itu.

"Syleene," panggil Askara setelah berada di dekat Syleene dengan lembut.

Syleene menoleh dengan senyuman yang merekah, seolah-olah dia sudah lelah untuk menangis. "Kalian ... kalian kenapa ke sini?"

"Gue khawatir," jawab Askara. Ia berjongkok di samping Syleene, ikut memperhatikan batu nisan yang masih bersih dari rerumputan yang berkeliaran.

"Tapi ... kenapa tau aku di sini? Maaf, kalian tidak seharusnya ke sini."

"Gue tau, lo pasti di sini. Maaf kalo buat lo gak nyaman, gue hanya takut lo lebih kalut dari malam sebelumnya.

"Malam sebelumnya?" Syleene menggeleng. "Bukan, maksud aku, kalian tidak seharusnya repot-repot seperti ini."

"Kita gak ngerasa di repotkan. Maaf, gue baru tau beritanya setelah grup SMA Garuda ngasih informasi. Gue minta maaf karena baru bisa ke sini, gue gak bisa nemenin lo semalam. Pasti, lo kalut banget."

"Tidak perlu meminta maaf, ini bukan salah kalian kan?" Syleene menatap Askara sekilas, kemudian beralih pada Dillan yang berdiri kaku.

Dillan kini mendekati Syleene. "Syleene, saya dan seluruh tim kafe mengucapkan turut berduka cita. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan, ibu kamu pasti sudah tenang."

"Iya, makasih Kak, makasih sudah peduli."

Askara memegang lengan Syleene lembut. "Lo gak nyakitin diri sendiri kan?" tanyanya khawatir.

Syleene menggeleng dengan tenang. "Rasanya seperti mimpi. Semalam, kita masih berbicara," ujarnya dengan nada sendu.

"Sekarang, ibu lo udah tenang di sana," jawab Askara.

Syleene mengangguk pelan, matanya menerawang. "Iya, mereka telah beristirahat dengan tenang, mama udah tidur untuk selamanya, di samping nenek."

Askara menatap Syleene dalam. "Janji sama gue, lo harus tetap bertahan ya," pinta Askara.

Syleene menyunggingkan senyuman yang terlihat menyakitkan. "Bertahan. Tapi, demi apa aku harus bertahan? Aku benar-benar sendiri sekarang."

"Lo punya gue Syl, banyak yang sayang sama lo, termasuk temen-temen lo yang sekarang lagi nunggu di rumah."

"Di rumah," imbuh Syleene.

Askara mengangguk. "Iya, mereka sekarang ada di rumah lo."

"Jika begitu, lebih baik kita pulang saja, ke rumah Syleene. Mereka mungkin mengkhawatirkan Syleene." Sambar Dillan.

"Iya, kita pulang ya Syl," ajak Askara.

Syleene mengangguk, ia berdiri di bantu oleh Askara. Kakinya menyusuri jalan setapak di antara batu nisan. Setiap sudut pemakaman seolah menyimpan cerita, menjadi tempat di mana kenangan abadi bersemayam.

Moon Without Light [Completed]Where stories live. Discover now