21. Lukanya, semakin banyak

21 7 0
                                    

.
HAPPY READING

Syleene menyusuri lorong sekolah dengan langkah gontai, tatapan mata yang sayu dan ekspresi wajahnya terlihat murung, ia merasa lelah setelah menghabiskan hari yang panjang di kelas.

Cahaya senja yang mulai redup menerangi jalanannya, menciptakan bayangan yang panjang di dinding lorong yang mulai sepi. Dia hanya di temani bayangan dirinya sendiri.

"MANEH KENAPA GALAU SA?"

Di tengah-tengah kesunyian, Syleene mendengar suara percakapan di kelas 12 Mipa 2, suaranya sudah tidak asing lagi bagi Syleene.

"Siapa yang galau?" Itu, suara Askara, Syleene tidak mungkin salah dengar.

Syleene mendekatkan dirinya pada pintu kelas 12 MIPA 2 yang sedikit terbuka, ia merasa penasaran dengan pembicaraan mereka.

"Askara, lagi putus cinta."

Perasaan Syleene bergemuruh merasa bersalah. Dia belum menjelaskan alasan kemarin dia pergi begitu saja dari rumah Askara. Ia juga lupa berpamitan pada Adelly–ibunya Askara.

"Nah, maneh di tolak nya, sama si Teteh Syleene." Logat khas Deigo terdengar jelas.

"kemaren dia tiba-tiba pergi dari rumah gue, gue gatau alasannya, mungkin dia butuh waktu sendiri, gue gak mau ganggu," jawab Askara yang menggema di dalam kelas yang hanya ada 5 orang.

"Lo udah ungkapin perasaan sama dia?"

"Enggak, gue takut dia gak nyaman, nanti malah jauhin gue," balas Askara.

Suara percakapan yang masuk ke telinga Syleene bagai reaksi kimia yang tak terduga di dalam laboratorium. Kejadiannya begitu tiba-tiba sampai membuat perasaan Syleene terperanjat.

"Maaf," gumam Syleene yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Ia merasa bersalah karena kemarin tiba-tiba pergi tanpa memberi tahu alasan. Alasan yang mungkin akan sulit di terima oleh semuanya.

"Gue kangen Allei," ucap Askara di dalam kelas sana. Suaranya kembali terdengar oleh Syleene, menggema di tengah-tengah kedamaian. Namun, ada setitik sakit yang terasa.

"Allei?" imbuh Syleene dalam hati. Ia mengingat nama Allei yang sudah tidak asing di telinganya, namun dia tidak tahu siapa Allei.

"Jadi, lo suka sama Syleene atau Allei?" Suara di dalam kelas kembali mengambil perhatian Syleene.

"Gue kangen Allei," ujar Askara dengan cepat dan tegas.

"Ceunah geus 3 taun, bener?" Logat khas Deigo kembali terdengar.

"Syleene, Lo buang gitu aja?"

Hening. Syleene tidak bisa mendengar jawaban Askara.

Seperti reaksi redoks yang bersifat oksidasi dan reduksi secara bersamaan, perasaannya terbagi antara rasa salah dan kesal, bergejolak dengan dua emosi yang bertentangan.

"Aku benci," gumam Syleene pelan, ia bersandar pada dinding yang kokoh, tatapannya kosong ke depan.

Syleene menyesal telah mendengar percakapan yang seharusnya tidak ia dengar. Percakapan yang menusuk hatinya membuat ia semakin terpuruk dalam kesedihan, sendiri, di temani sepi. Air matanya mengalir perlahan, membasahi pipi yang pucat.

"Setitik harapan," gumam Syleene seraya kembali melanjutkan perjalanannya untuk pulang. "Sudah menjadi pedang yang tajam."

Suara langkah kakinya terdengar pelan di antara dinding-dinding yang sunyi, seakan mengiringi kesedihan Syleene yang dalam.

Moon Without Light [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant