2

80 20 13
                                    

Sesampainya di bawah, aku melihat sebuah pemandangan yang seharunya mustahil kudapatkan.
"Benedict?! Apa yang kau lakukan?!"
.
.
.
Benedict mengarahkan kedua tangannya kepada si gadis brengsek, membuat dirinya yang tengah menggenggam botol anggur itu melayang tinggi di udara dengan sihir angin miliknya.
"Cukup! Kalau kau mau mabuk di luar saja!" Benedict kembali berteriak dan melempar gadis brengsek yang dilayangkannya di udara ke arah pintu penginapan, membuat punggung gadis itu bertabrakan dengan pintu penginapan sebelum akhirnya ia tersungkur di lantai dan tak sadarkan diri. Botol anggur yang digenggamnya pecah tepat di sampingnya, melengkapi pemandangan yang sudah mengenaskan itu.
...
Yah, setidaknya Benedict tak membuat gadis itu terluka parah, namun pintunya sudah bergeser dari tempat semula.
Lebih tepatnya semoga dia tidak terluka parah.

S-semoga.. yah-

Si gadis penginapan berlari sembari berlinang air mata menuju gadis brengsek itu. Ia tersedu-sedu memeluk orang yang tengah tak sadarkan diri seolah-olah itu pertemuan terakhir mereka. Untuk sesaat, mengabaikan betapa brengsek dirinya, berhasil menciptakan panggung yang memilukan.
Entah dorongan apa yang membuat diriku berlari ke arah dua orang itu. Aku segera menggunakan sihir penyembuhan tingkat tinggi kepada orang yang pingsan di tempat.
...
Ah, rupanya tulang punggungnya mengalami keretakan.

Aku mengalirkan mana selama dua puluh menit untuk memperbaiki tulang punggungnya yang retak, dari total dua belas tulang, ada tujuh yang remuk parah. Itu juga belum termasuk tulang lehernya yang geser. Yang benar saja, ini cukup menguras mana yang kupunya.
Belum lagi si gadis penginapan yang menangis tanpa henti, lalu menarik jubahku agak membuat terganggu selama proses pemulihan berlangsung.

Setelah menghabiskan sebagian besar mana dan membuat si brengsek pulih, ia menepis pelukan dari gadis penginapan dengan kasar. Tampaknya ia akan mulai merundung lagi. Namun dirinya dengan segera mengalihkan pandangan ke belakang dan melihat Benedict.
"Tch!" Akhirnya dia hanya berdecak, meludahi si gadis penginapan dan pergi keluar dengan gaya angkuhnya.
....
Si gadis penginapan langsung memelukku dengan erat sambil menangis sejadi-jadinya tanpa suara.
Ia belum bisa berpikir jernih atas apa yang terjadi.
Maka aku meraba lembut keningnya dengan punggung tangan kananku dan mengalirkan sedikit mana untuk membuatnya terlelap. Oke, satu masalah selesai.

"Benedict." Mendengarku memanggil namanya, anak itu segera menghampiriku. Ia langsung memperbaiki pintu yang rusak dengan sihir kayunya, kemudian mengembalikan botol anggur yang pecah menjadi utuh seperti sedia kala.
Selanjutnya diriku dan Benedict menggotong gadis yang sedang tertidur pulas ke sofa penginapan.

Aku mengamati Benedict dalam keheningan yang berarti.
...
"Hei nak, kau bisa keren juga ternyata."

Kami membiarkan si gadis penginapan terlelap di sofa, ia hanya akan tidur hari ini. Aku menggerendel pintu penginapan Fleure dan membalik papan tulisan di pintu. Menutup penginapan untuk hari ini.
Berikutnya aku menarik Benedict menuju kamarnya.

——————
.
.
.
Hening.
...
Benedict duduk di kasur dan memainkan kuku-kuku tangannya.
Aku sendiri bingung mau bilang apa.

"Oi."
Aku baru ingin mengatakan sesuatu, namun isi kepalaku terhenti untuk keluar. Lebih tepatnya, dipotong.
....
"Ashina, kau benar-benar keterlaluan!" Ia berdiri dan melangkah ke arahku, menunjukkan ekspresi kesalnya, dan berbicara di hadapanku dengan lantang.
Aku menatapnya dengan datar, "tahan dulu, Benedict."
Namun apa yang kudapatkan berikutnya adalah sebuah tamparan yang cukup keras di pipi kiri.
"Hah? Ashina? Kau gila! Aku selalu berpikir bahwa kau orang baik dan lurus! Tapi- tapi kenapa kau membiarkan perundungan itu terjadi?! Kenapa kau seperti itu?! Kau tahu, kau bisa sesekali mengandalkanku! Gadis penginapan itu telah mengalami banyak masalah! Sejak perempuan itu masuk, aku bisa merasakan bahwa gadis penginapan itu mendapatkan terror besar! Aku memang buta, namun aku bisa merasakan apa yang dialami orang-orang dan aku tahu kau bisa melihat yang terjadi di hadapanmu dengan jelas! Tapi kenapa... kenapa kau hanya diam dan menghindarinya?! Kenapa kau hanya menganggap itu semua cuma drama! Jawab aku!"
....
Kekesalannya padaku tidak dapat terbendung, dan dirinya mengutarakan isi pikirannya yang berkecamuk. Aku mengerti, meresponnya dengan datar.
"Benedict, lanjutkan."

"Hah!?" Ia memasang wajah yang entah menunjukkan rasa bingung ataupun kecewa. "Ashina?"
...
"Aduh, maksudku, lanjutkan untuk mengatakan apa saja informasi yang kau dapat. Beserta perasaan mereka berdua saat itu. Bukan saat pertengkarannya saja, tapi sertakan bagian akhir dari pertikaian itu. Aku yakin kau sadar akan sesuatu yang menyangkut mereka berdua. Katakan apa yang kau pahami. Oh, aku juga tahu, kau tidak membaca sepenuhnya isi kepalaku. Tapi yah, yang satu itu kurasa tidak penting." Aku mengambil posisi duduk di sampingnya, dengan kedua tangan menopang dagu, menatap lurus ke depan. Ada sebuah cermin besar, yang di dalamnya terdapat pantulan bayangan kami berdua. "Minimal kau tahulah siapa nama mereka. Benar?"
...
Benedict terdiam dan kemudian duduk di sampingku. Selain mata yang selalu menatap kosong itu, diriku tetap dapat melihat raut wajahnya yang kalut.

Aku membuang napas, "Benedict? Bukankah aku pernah bilang kepadamu agar jangan ragu untuk menyampaikan isi pikiranmu padaku? Rasanya aku juga tidak sekalipun mengekangmu selama ini. Apakah kau paham kenapa aku pernah bilang begitu? Aku paham kemampuanmu untuk menerawang pikiran seseorang, tapi aku yakin kau masih harus belajar untuk tidak bertindak gegabah bukan? Bukan masalah bila kau ingin agar aku membantu mereka. Tapi paling tidak, sampaikan hal yang mendasari permasalahan mereka. Benedict, tolong jelaskan sekarang juga. Aku tidak bisa membaca pikiran seseorang."
Jujur, aku tidak menyangka bahwa dia mampu mengatakan hal-hal itu dengan lancar. Kurasa ini perkembangan yang baik untuknya. Namun, dia tetaplah masih bocah labil yang perlu diajari agar berhati-hati dalam bertindak.

Benedict tetap diam, larut dalam pikirannya. Aku yakin memang ada yang tidak beres antara si gadis brengsek dan si gadis pengurus penginapan. Namun yang kumaksud adalah, aku tidak paham permasalahan inti mereka dari kedua sisi, terutama karena gadis penginapan itu tidak dapat berbicara. Yang kudengar sebelumnya hanyalah caci maki tidak jelas. Maka dari itu aku menghindari untuk menuangkan minyak tanah ke kobaran api.
Setelah beberapa menit, Benedict membuka mulutnya kembali. "Ashina.. maaf..."
....
"Fuhh, yah Benedict, sejak awal gadis angkuh itu datang, aku hanya bisa menebak kalau mereka itu saudara kembar. Kau tahu, gadis angkuh itu juga orang yang sama yang tengah bernyanyi di panggung penuh keramaian ketika kita datang. Kau cukup menikmatinya, ingat?" Mendengar ujaranku, Benedict merespon dengan anggukan.
...
Yang satu ini, kenapa aku bisa tahu?
Ya, mataku masih berfungsi dengan baik. Wajah mereka berdua sama persis.

——————
Pada akhirnya Benedict menguraikan semuanya malam itu.
Tebakanku benar, mereka memang saudara, Benedict berkata bahwa si gadis penginapan lebih tua dari yang angkuh, karena ia sempat mendengar isi pikiran si gadis angkuh yang sengaja datang memang untuk sekadar merundung kakaknya, si gadis penginapan. Alasannya? Benedict sendiri bilang bahwa ia juga belum paham bagian itu, karena ia hanya merasakan kekesalan dan amarah yang secara sengaja dipaksa meledak dari hati si gadis angkuh itu sendiri.
Mendengar penuturannya, aku merasa bahwa si gadis angkuh itu kemungkinan tidak benar-benar murni jahat.
Ah, satu lagi, nama si gadis penginapan ini adalah Melody.
....
Dan keputusan akhirku kali ini adalah untuk mengisi waktu luang dengan membereskan masalah mereka.

Bagaimanapun juga Benedict tidak salah, perundungan pada dasarnya memang tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Itu bisa mengganggu kesehatan jiwa seseorang. Aku paham kok.
Yah, berikutnya aku cukup mengapresiasi Benedict. Ia akhirnya bisa mengungkapkan pikirannya dengan baik dan berbicara dengan jelas.

Semoga seterusnya bisa begitu.

*****
[TEATER KECIL]
Tentang Kemampuan

Ashina: "Kau belajar hal-hal baru dengan sangat cepat ya. Kamu benar-benar bisa menguasai teknik sihir baru dalam waktu singkat."

Benedict: "berkat Ashina."

Ashina: "hah? Apa hubungannya denganku?"

Benedict: "jika aku tidak bertemu denganmu mungkin aku tidak akan naik ke permukaan dan aku tak akan leluasa mengasah kemampuanku.."

Ashina: "ah begitu ya, hehehe..."

Benedict: "Mungkin kualitas nama panggilanmu yang buruk itu juga bisa meningkat suatu hari nanti."

Ashina: "eh?"

Yao: "pfft- ada yang mulai berani rupanya~"

Ashina; Physician's JourneyWhere stories live. Discover now