33

3K 124 7
                                    

Wajah itu menjauh, bersamaan dengan kedua mata Felicia yang mengeluarkan bulir-bulir air mata. Tidak deras namun cukup mampu membuat wajah yang menatapnya itu tertegun. Menatapnya lama hingga tangan yang menahan pergelangan tangannya di punggungnya pun berangsur-angsur terlepas.

Felicia hanya bisa menunduk, menyembunyikan tangisnya karna marah bercampur kesal. Disaat itu, dia rasakan sesuatu yang mengusap pipinya. Lembut. Yang saat Felicia mendongak, wajah itu berpaling. Bergerak melepaskan lilitan lengannya dengan kaki bergerak menjauh. Tidak ada suara yang pria itu keluarkan. Sampai punggung itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Sedang Felicia, jatuh terduduk. Menutup wajahnya, berusaha menahan isak tangis yang dia tahan sejak tadi. Yang entah mengapa membuat dadanya sesak luar biasa. Semua itu, hanya karna pria yang kini berada di balik pintu kamar mandi.

*****

Felicia pergi pagi-pagi sekali. Bahkan saat mata hari belum menampakkan dirinya, embun pagi masih baru saja turun membasahi bumi. Dia sudah berada di balik mobil. Membelah jalanan yang masih begitu sepi.

Semalaman ia menangis sampai tertidur, entah berapa lama ia tertidur hingga saat terbangun. Dia sudah berada di atas ranjang-padahal sebelumnya dia ingat jika dia menangis di atas sofa.

Mungkin pria itu yang memindahkannya, membaringkannya di atas ranjang hingga tubuhnya berada di sana saat ia terbangun tadi.

Dia tidak menemukan pria itu berada di kamar yang sama dengannya. Entah pria itu pergi ketika Felicia tertidur, atau dia memilih tidur di kamar lain?

Tidak. Felicia tidak ingin tahu. Dan Felicia pun tidak ingin mencaritahu. Karna itulah dia memilih pergi begitu saja pagi ini. Tidak ingin melihat pria itu nanti atau mendengar kabar apa pun dari salah satu pelayan-yang mungkin ditugaskan untuk memberitahu keberadaan pria itu.

Pagi itu, butuh perjalanan hampir satu jam agar Felicia tiba di tempat tinggal sahabatnya Arumi. Dia tiba di sana bahkan mungkin-saat sahabatnya itu masih tampak nyenyak dengan tidurnya. Wajah bantal sahabatnya itu bahkan seketika sirna begitu menemukan Felicia berdiri di depan pintu unitnya sepagi ini.

"Astaga! Fel! Lo ngapaian sepagi ini di rumah gue?" Meski heran bercampur bingung, Arumi tetap membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Mempersilahkan sahabatnya itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Lalu, dia bergerak ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang pasti berantakan sekali.

Sedang Felicia yang melihat sahabatnya melangkah ke kamar mandi hanya menggeleng, melangkah ke arah sofa yang berada di ruang tengah dan menghempaskan tubuhnya di sana. Dia sudah meminta supir Ervin untuk pergi tadi. Yang setelah ini pasti dia yakini jika supirnya itu pasti akan melaporkan keberadaan Felicia di mana.

Tapi masa bodoh. Felicia tidak akan peduli. Toh pria itu tidak akan peduli dengan keberadaan juga keadaannya.

"Udah sarapan lo?"

Felicia tidak menjawab, namun dia bangkit dari duduknya dan mengekori Arumi melangkah ke arah dapur. Duduk di salah satu stool dan menatap sahabatnya yang kini menyempulkan wajahnya ke arah lemari pendingin.

Sejenak, pandangan Felicia mengedar, tidak ada yang berubah dengan tempat tinggal sahabatnya itu. Semua masih sama dengan yang terakhir kalinya Felicia masuk ke sana.

"Kenapa?" Tanya Arumi begitu menemukan sahabatnya yang menatap sekeliling rumahnya. Dia pun ikut melakukan hal serupa dengan apa yang sahabatnya itu lakukan.

"Gimana rasanya tinggal sendiri?"

"Biasa aja, sih." Dia menjawab ragu.

"Lo nggak merasa kesepian?" Felicia menerima uluran susu dari sahabatnya itu. Lalu menegaknya tanpa ragu.

Hanya Tentang Waktu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang