39

2.6K 143 1
                                    

Felicia duduk berhadapan dengan wanita yang sejak kedatangannya, memilih sibuk dengan cangkir kopi wanita itu. Tanpa mau repot-repot melirik atau bahkan menatapnya.

Layaknya wanita-wanita kaya pada umumnya. Felicia bisa melihat jika semua yang melekat di tubuh itu. Tampak begitu mahal dan barang branded. Pantas saja jika wanita yang Felicia ketahui bernama 'Rasya' atau ibu Arnanda itu. Tampak begitu angkuh juga sombong. Jelas sekali, semua itu pasti karna semua yang wanita itu miliki selama ini.

"Bagaimana rasanya menjadi istri pria kaya?" Bibir itu bergumam. "hebat bukan?"

Felicia bisa melihat bagaimana bibir itu tertarik tipis. Layaknya seringai sebelum wajah itu mendongak dan menatapnya.

"Itu lah yang saya rasakan dulu. Setelah menikah dengan seorang Bram Artama."

Felicia tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini. Terutama ketika wajah itu menatapnya kian dingin dan datar.

"Dia mencintai saya. Dan saya mencintai dia. Dua hal yang saling berhubungan dan membuat kehidupan kami begitu tampak bahagia."

Bahagia di atas penderitaan orang lain. Itu lah yang Felicia tangkap dari semua itu. Disaat itu jugalah, Ervin pasti merasakan sakit yang teramat besar karna papanya lebih memilih wanita lain ketimbang mamanya.

Mendadak, kedua tangan Felicia yang berada di atas pangkuannya mengerat. Terkepal dengan perasaan campur aduk.

Marah, benci, juga sakit.

Dia yang bukan siapa-siapa bahkan merasakan perasaan semacam itu. Lalu bagaimana dengan suaminya?

Pria yang saat itu masih berusia cukup muda. Tapi harus melihat kedua orangtuanya bercerai dan mamanya tak lama meninggal karena terlalu mencintai pria yang bahkan lebih memilih wanita lain.

"Jangan salah paham. Saya hanya ingin kamu tahu, jika suami saya. Bram Artama mencintai saya. Bukan wanita yang menikah dengannya bertahun-tahun. Hanya untuk sebuah hubungan saling menguntungkan."

"Saya sama sekali tidak mengerti." Felicia berujar jujur. "Jadi langsung saja. Apa yang ingin anda katakan, langsung saja."

Bibir itu terkekeh. Kembali menyesap kopinya perlahan sebelum kembali menatap Felicia.

"Sejak awal saya sebenarnya menyukai kamu. Sangat suka sampai tadinya berencana untuk menjadikanmu pasangan putra saya, ketimbang anak itu."

Lagi. Felicia mendengar 'anak itu' keluar dari bibir itu. Dengan gamblangnya. Membuat Felicia merasa kian marah dan kesal.

"Tapi sayang, suami tersayang saya itu lebih mencintai putra dari wanita itu ketimbang putra kami."

Mendengar itu, entah mengapa Felicia ingin menarik sudut bibirnya ke atas. Tersenyum lantaran ayah mertuanya lebih menyayangi Ervin ketimbang Arnanda. Mungkin karna itu juga lah papa mertuanya lebih memilih menikahkannya dengan Ervin ketimbang Arnanda. Tanpa sadar, bibir Felicia kembali tertarik ke atas. Senang lantaran mendengar kabar itu.

"Tapi, saya sama sekali tidak keberatan kalau kamu menjadi menantu saya setelah ini."

"Maksud anda?"

"Jika kamu bersedia berada di pihak saya. Saya sama sekali tidak keberatan untuk menjodohkanmu dengan putra saya, Arnanda! Kamu pasti tahu putra saya, kan?"

Wah...

Felicia lagi-lagi dibuat takjub dengan itu.

Apa wanita tua di depannya ini sudah benar-benar gila? Bagaimana mungkin wanita itu mengatakan hal semacam itu? Apa stok wanita cantik di luar sana sudah habis sampai wanita di depannya ini ingin menjadikannya menantu?

Hanya Tentang Waktu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang