Chapter 1 -- Marah-Marah

59 13 20
                                    

"Mehin, kamu dengerin Mbak ngomong nggak, sih?"

Delapan menit berlalu gadis berkerudung segiempat hitam bermotif bunga-bunga menutup dada itu menyudahi bicaranya. Kini, ia bersedekap kesal lantaran adik laki-lakinya malah sibuk bermain game di laptop. Sedang main game Pizza Frenzy keluaran lama. Tampangnya sok serius, disertai dahi yang berkerut berkali-kali ketika hampir saja kalah di level permainan tertentu.

Mehindra Syahreza, kerap dipanggil Mehin mendesah pelan, kemudian melirik sekilas kakak perempuannya yang tengah menghunuskan pandangan tajam ke arahnya. Ia ingin memberontak, tetapi terlalu lelah rasanya. Kesibukan di sekolah hari ini telah menyedot separuh tenaganya. Niat hati, ingin bersantai-santai sejenak selepas pulang sekolah dengan bermain game malah terusik oleh kedatangan Berliant Sandykala. Kakak perempuannya yang senang membuat hari-hari Mehin panas seperti di neraka sana.

Toh, kenapa Berliant sudah ada di rumah, sih? Padahal, biasanya masih di rumah sakit tempatnya bekerja, atau lembur sampai malam nanti. Menyebalkan.

"Mehin!"

Rasanya sudah tidak tahan lagi, diraihlah paksa laptop berukuran 11,4 inch itu dari sang empunya. Berliant juga mengambil mouse wireless dari genggaman tangan Mehin. Ia bersungut-sungut hendak mengeluarkan semburan api, kalau saja kali ini adik laki-lakinya mencoba ngeyel.

"Mbak Ber! Sini, laptopnya, woi!"

Tentu, namanya Mehin otomatis tidak terima. Ia terlonjak kaget, spontan bangkit dari singgasana ternyamannya-kasur yang empuk- mendekati tempat Berliant berdiri sambil memegang laptop dan mouse miliknya. Dua benda yang sewaktu-waktu bisa saja terbanting paksa ke lantai.

"Pertanyaan Mbak belum dijawab, Mehin! Tadi, Mbak nyerocos panjang lebar, kamu dengerin atau nggak?" tanya Berliant selagi menyembunyikan laptop dan mouse milik Mehin di belakang punggungnya.

Langkahnya terhenti, Mehin menghela napas panjang. Rasanya, seperti percuma apabila berdebat dengan Berliant. Pasti berujung kalah. Maklum, katanya laki-laki diciptakan untuk serba salah. Contohnya, seperti ini, nih.

"Aku nggak denger. Mbak Ber nggak tahu, ya, kalau fokusnya laki-laki sama perempuan, tuh, beda?" Helaan napas terdengar. "Laki-laki itu cuma bisa satu fokus, bukan multi fokus kayak perempuan!" imbuh Mehin, agak nge-gas dikit.

Berliant berdecak sebal, ia lalu menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Seenggaknya kamu bisa berhenti dulu main game-nya. Terus, dengerin Mbak ngomong sebentar. Ada informasi penting yang harus Mbak sampaikan. Ini demi masa depanmu!"

"Ya elah, Mbak. Hari besok aja belum tentu bisa ketemu, pake mikirin masa depan segala. Kejauhan, oi!" Mehindra terkekeh singkat. Lagian, buat apa Berliant memikirkan masa depan yang belum jelas itu? Ada-ada saja, batin Mehin. Lebih baik, menikmati hidup yang sedang berjalan ini, 'kan?

"Emang, apa salahnya mempersiapkan diri dari sekarang?" dakwa Berliant. Tatapannya makin menajam. Ia jelas tidak mau kalah. Apapun yang dikatakan Mehin seolah terhempas dari benaknya.

Cowok yang memakai kaus putih polos itu menyerah. Pantatnya dijatuhkan lagi ke tepian kasur. Ia berdecak pelan. "Yaudah, Mbak mau ngomong apa, sih? Bisa diulangin?" Ya, daripada perdebatan soal masa depan takkunjung kelar, Mehin menyudahi itu dengan mengalah saja, alih-alih supaya Berliant cepat bungkam suara. Gara-gara gadis itu, sore hari yang diharapkan Mehin dipenuhi ketenangan untuk bersantai ria ini mendadak terkesan ramai dan berisik.

Setelah menarik napas panjang, guna meredakan emosinya yang sempat mampir, Berliant baru bicara. "Rencananya, Mbak mau daftarin kamu les mata pelajaran. Kebetulan, Mbak baru aja dapet rekomendasi tempat les bagus dari temen kerja. Sekelas cuma berlima. Kabarnya, yang les di sana banyak yang diterima di kampus bagus," ujarnya menggebu.

"Hitung-hitung, biar nilai-nilai kamu nggak turun aja, sih. Bentar lagi kamu, kan, kelas 12. Jadi, harus fokus belajar biar bisa nembus kampus impian." Berliant menambahkan lagi.

Bisa dibilang, Mehin termasuk siswa langganan masuk paralel angkatan 5 besar. Kerap kali, ia menduduki 2 besar terbaik dengan nilai-nilai fantastis. Belum pernah, sekalipun Mehin terlihat turun peringkat. Ia tetap setia di peringkat 2 besar. Cowok itu pun bukan tipe orang yang ambisius. Mehin sangat menikmati setiap proses dan perjalanannya di sekolah. Menimba ilmu, beraktivitas bersama teman sekelas, dan ikut beberapa organisasi sekolah untuk mencari teman baru. Mehin juga pernah menang dalam kejuaraan cerdas cermat berulang kali. Ikut OSN untuk mewakili sekolahnya. Terakhir, sempat mendapat juara umum dalam olahraga Taekwondo.

Lantas, yang jadi permasalahannya adalah tiba-tiba Berliant mendaftarkannya les mata pelajaran. Padahal, sebelumnya gadis itu sama sekali cuek dan terkesan tidak peduli oleh apa yang dilakukan Mehin selama ini. Perkara, memergoki adik laki-lakinya main game sekali saja, responsnya seperti sedang menghadapi konflik antar negara. Heran.

Mungkinkah, Berliant habis kerasukan setan rumah sakit? Sehingga, dirinya berlagak sok peduli dengan adik laki-lakinya? Bisa jadi!

Hampir lima menit berlalu, Mehin tidak kunjung merespons. Ia malah diam sambil memainkan jemari kedua kakinya di lantai. Hal itu, sontak membangunkan emosi Berliant lagi. Dicubitlah lengan Mehin keras-keras. Ia tidak peduli adiknya mengaduh kesakitan.

"Mbak! Hobinya, kok, cari masalah, tah?"

Berliant cemberut. "Ya, penyebabnya kamu itu. Dikasih tahu malah nggak dengerin. Minimal, respons, kek. Biar aku seneng dikit. Masa, gitu aja nggak bisa? Punya telinga dipake, dong."

"Ntar, kalau aku respons, Mbak Ber nggak terima. Terus, aku harus gimana coba?"

"Ya, jawab dulu, kek. Bilang, kalau ide mbakmu ini bagus atau apa gitu," cecar Berliant.

Mehin pasrah. Ia mengarahkan tatapannya pada Berliant sekarang. Dengan satu tarikan napas ia menjawab mantap. "Aku nggak mau les, Mbak."

"Kenapa?" Raut wajah Berliant berubah muram.

"Karena, ya ... aku nggak pengen les, Mbak. Aku pengen menikmati proses dengan caraku sendiri." Mehin berkata jujur. Terlepas, Berliant menerimanya atau tidak, masa bodoh. Ambisius, bukanlah prinsip utama Mehin, tetapi mengalir seperi alir, pasti sampai ke tujuan, itulah yang tertanam dalam hatinya. Lagipula, kedua orangtuanya tidak mempersalahkan apa yang diyakini Mehin. Mereka bahkan mendukung sepenuh hati.

"Tapi, nggak ada salahnya, kan, mempersiapkan masa depan sedini mungkin? Ah, kamu bilang gini pasti cuma alasan aja. Mbak tahu, kamu punya geng baru yang hobinya main game tiap malem. Nggak usah kebanyakan ngibul, deh."

Sial, jujur salah, bohong dosa. Maunya apa, sih, anak satu ini? "Terserah, Mbak Ber aja, dah. Aku capek kalau disuruh debat mulu. Sini, mana laptop sama mouse-ku! Mbak pasti paham kalau mengganggu aktivitas orang lain hukumnya apa? Dosa!"

"Kata siapa? Ngawur banget!" Nada bicara Berliant setengah membentak. Sekarang, mereka ibarat dua negara yang akan melangsungkan perang dunia.

"Mbak! Balikin koh!" Kesabarannya telah diambang batas, Mehin berniat merebut kembali dua benda miliknya, tetapi gerakan Berliant lebih cepat dari perkiraan. Di sela-sela itu, dirinya masih sempat bicara sekaligus mengomel yang Mehin anggap sebagai suara mesin cuci, terdengar bising, membuat gaduh suasana.

Sampai, pintu rumah yang terdengar dibuka oleh seseorang, menghentikan keributan keduanya.

"Assalamualaikum, Ibu pulang bawa Rocket Chicken, nih!"

Seketika kesempatan emas berpihak pada Mehin, ia memanfaatkan itu dengan gesit merebut laptop dan mousenya. Setelah berhasil, Mehin menjulurkan lidah sebagai pembalasan dendam, lalu pergi meninggalkan Berliant sendiri di kamarnya. Tidak peduli, jikalau kakak perempuannya berteriak, Mehin akan tetap berjalan lurus ke depan sambil bertekad dalam hati, bahwa setelah lulus dari SMA nanti dirinya harus merantau, meninggalkan segala hiruk pikuk yang disebabkan oleh Berliant.

"Mehin! Hih!"

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang