Meja makan persegi berbahan kayu jati itu telah dikelilingi oleh empat orang anggota keluarga. Akhirnya, mereka menyempatkan untuk sarapan bersama setelah sekian lama. Pasalnya, masing-masing punya kesibukan sendiri.
Nasi goreng sebagai menu utama, tetapi di sisi lain terdapat roti tawar tanpa kulit yang telah disediakan di piring lebar, tinggal ambil saja kalau mau. Ada pula selai cokelat dan strawberry dalam kemasan jar. Tidak lupa susu segar yang sudah dituangkan ke teko berbahan kaca bening. Semua sarapan pagi itu, Ana yang menyiapkan seorang diri, bahkan Berliant yang ingin membantu disuruh mundur sambil siap-siap berangkat kerja. Ana tahu, kalau Berliant akan sibuk hari ini. Maklum, anak sulungnya bekerja di dua rumah sakit yang berbeda.
Sambil memisahkan kuning telur, Berliant melirik Mehin yang tampak acuh. Cowok itu sedang fokus membaca sesuatu melalui ponsel dalam genggaman tangan kiri, ketika yang kanan sibuk menyendok nasi goreng ke mulutnya. Pikiran Berliant mendadak berisik oleh berbagai pertanyaan soal Mehin yang semalaman pergi entah ke mana dan mungkin pulang ke rumah saat ia sudah di alam mimpi.
"Tumben banget Bapak dinas pagi, biasanya dinas siang mulu," celetuk Ana selagi melipat roti tawar yang baru saja diolesi menggunakan selai cokelat.
Novan terkekeh singkat. Selesai mengunyah nasi goreng, ia baru menjawab. "Iya, nih. Kebetulan ada pelatihan di rumah sakit. Jadi, sekalian aja Bapak rikues jadwal sif, biar dijadiin pagi."
Selain Berliant yang bekerja di rumah sakit, ada Novan sebagai perawat senior, tetapi keduanya tidak bekerja di tempat yang sama. Novan bekerja di rumah sakit provinsi yang setiap hari intensitas pasiennya terbilang selalu banyak. Sedangkan, Berliant bekerja di rumah sakit swasta yang baru buka belum lama ini, tetapi langsung ramai oleh pasien, sebab modalitas pemeriksaannya cukup lengkap. Selanjutnya, untuk rumah sakit yang kedua, Berliant memilih bekerja rumah sakit kecil khusus bedah saja.
"Mantap. Aku jadi ngiri sama Bapak, deh. Andai jadwal kerja aku ada sistem sif kayak gitu, pasti bisa tuker ke libur terus," sahut Berliant.
Mehin berdecak kesal. Kalau Berliant kebanyakan libur, bisa gawat. Ia tidak bisa bebas bergerak, yang ada malah banyak aturan tidak sesuai kemauan Mehin.
"Kenapa lu, Dek? Jutek amat mukanya." Ternyata, Berliant memergoki raut wajah Mehin berubah keruh setelah mendengar pernyataannya barusan.
"Apaan, sih, Mbak? Biasa aja kale," balas Mehin cuek. Tatapannya masih tertuju pada layar ponselnya, yang sebenarnya tidak menampilkan apa-apa. Ia hanya terfokus menggulir linimasa Instagram secara random, alih-alih mengalihkan perhatian alias agar tidak ada interaksi dengan kakaknya.
Berliant melirik sinis Mehin, lalu ia bersedekap. "Semalem, pulang jam berapa? Sama siapa aja dan perginya ke mana?"
Antara serius dan bercanda, Mehin tetap tidak suka dengan cara bicara Berliant yang agak-agak itu. Sengaja menyindir di depan kedua orang tua mereka. Maksudnya apa coba? Kalaupun, Mehin pulang malam, itu haknya, dong.
Tanpa sadar, kedua kakak beradik yang sedang bersiteru itu diperhatikan oleh Ana dan Novan. Keduanya saling melempar tatap setelahnya, lalu tersenyum penuh arti. Sarapan pagi mereka pun sudah setengah tandas.
"Eh, nanti Bapak mau pinjem motor Scoopy-nya dulu ya, Ndra. Soalnya, mobil Bapak lagi diservis, baru bisa diambil nanti sore."
Belum ada respons dari Mehin. Sampai Novan berujar lagi setelah menghabiskan teh hangat dalam gelas beningnya.
"Nanti kamu berangkat sama Mbak Berliant dulu, ya?" Novan menawarkan, yang spontan membuat kaget anak bungsunya. Mehin terbelalak, ia sampai terbatuk-batuk sendiri. Apa katanya? Berangkat sama Mbak Berliant? Tidak salah dengar, tuh? Parah, sih.
"Kalau mau sama Ibu, agak siangan berangkatnya, tapi kan nggak bisa. Kamu masuk sekolah jam tujuh, toh?" sahut Ana seraya menopang dagu dengan salah satu tangannya.
Mehin menghela napas berat. Kalau ada buroq, mungkin ia lebih memilih pakai itu untuk berangkat ke sekolah, tetapi kenyataannya tidak seperti yang ia mau. Apalagi, jam bergerak begitu cepat. Tahu-tahu, sudah mau menunjuk ke angka tujuh.
"Aku, sih, santai. Kebetulan, masih satu jam lagi ke rumah sakitnya." Berliant bicara sesekali menaikkan kedua alisnya.
"Yaudah, kalian siap-siap dulu, gih. Terus, berangkat, soalnya udah mau jam tujuh. Takutnya, Mehin malah telat pergi ke sekolahnya. Masa, anak serajin dia kekunci di luar pager, malu, lah," ucap Novan panjang lebar.
Di rumah, ada empat kendaraan. Ada dua mobil yang lebih sering dipakai oleh Ana dan Berliant. Sedangkan motor, ada Scoopy milik Mehin dan N-Max milik Novan. Karena, mobil Ana diservis, otomatis tinggal 3 kendaraan. N-Max, Scoopy, dan mobil. Rencananya, Scoopy milik Mehin akan dipinjam Novan, lalu N-Max dipakai Ana, dan mobil tetap Berliant yang pegang. Sisanya? Tentu saja Mehin yang langsung disuruh berangkat bersama kakak perempuannya.
Dengan berat hati, Mehin beranjak dari kursi, kemudian berlalu ke kamarnya untuk mempersiapkan diri. Ia sebenarnya ingin menolak, tetapi waktu sama sekali tidak mendukung tindakannya itu. Sehingga, mau tidak mau—harus mau!—Mehin berangkat bersama Berliant yang berkenan mengantarnya ke sekolah, walaupun kalian tahu sendiri nanti di perjalanan mereka akan seperti apa.
"Bismillah ajalah," gumam Mehin kemudian.
***
Sepanjang perjalanan, keheningan melanda kedua manusia berbeda umur dan karakter itu. Kerap kali klakson kendaraan menginterupsi perhatian mereka. Jendela mobil sengaja dibuka setengah oleh Mehin. Ia merasa udara cukup pengap, mungkin penyebabnya adalah suasana kecanggungan yang merajarela. Dalam diam, ia berharap agar segera sampai ke tujuan.
"Kemarin aku sempet baca di koran digital, kalau ada kasus anak SMA kecanduan game online, terus dia mendadak depresi sampai mau bunuh diri. Ngeri banget nggak, sih?" Setelah hampir sepuluh menit berlalu, salah satunya bicara. Itupun, Berliant spontan to the point mengangkat kasus yang marak terjadi di kalangan remaja SMP sampai SMA, bahkan anak SD pun ada banyak yang kecanduan sampai kena marah orang tua mereka.
Seperti biasa, seorang Mehindra malas merespons apa yang dikatakan oleh kakak perempuannya. Mau itu berita penting, hal remeh temeh, ia sudah terlalu muak untuk itu. Sebab, hari-hari biasa seringkali direcoki oleh segala nasihat yang dipaksakan untuk didengar.
"Kalau bisa, sih, kamu kurang-kurangin main game online, Ndra. Nggak bag--"
"Udahlah, Mbak. Lagian, aku main game karena suntuk dan nggak mungkin kecanduan sampe segila itu," sela Mehin. Beberapa menit kemudian, Mobil Agya merah itu menepi ke dekat gerbang sekolah, Mehin pun buru-buru turun dan berlalu saja masuk tanpa berpamitan.
"Ish, bilang makasih, kek, atau apa ... malah diem aja. Dasar apatis!" gerutu Berliant.
Sementara Mehin, ia terus berjalan sampai tidak lagi melihat Mobil Agya merah milik Berliant di depan gerbang sekolah. Dirasa sudah melangkah jauh, Mehin berhenti seketika di tengah lalu lalang para siswa yang sedang berjalan. Cowok itu meraih ponselnya di saku celana, kemudian jemarinya bergerak cepat menekan menu unfollow, blokir, serta batasi seluruh akun antara ia dan Berliant.
"Bye, bye, ratu rempong!" gumam Mehin sambil tersenyum tipis. Niat yang selama ini ia pendam berhasil ditunaikan. Kalaupun, ada keributan setelah ini, ia sungguh masa bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN I HATE MY SISTER [END]
Random[Naskah Pilihan Editor Pada Event Festival Menulis Fiksi Rasi 2024] Hidup bebas, tanpa diatur, dan tanpa dikekang adalah impian dari Mehindra Syahreza. Ia bertekad mewujudkan semua itu dengan merantau selepas lulus dari SMA, yang sebentar lagi mulai...