Chapter 5 -- Beban Hidup

22 2 0
                                    

"Yailah, mukamu kusut amat, Ndra. Udah kayak kena angin puting beliung aja, dah. Masih pagi, lho, ini, Ndes," celetuk Rafka sambil geleng-geleng kepala. Ia lalu menyeruput es tehnya yang tersisa separuh di gelas.

Biasanya, Mehin akan senang ketika jam istirahat tiba. Ia bisa melepas lelah setelah berkutat dengan pelajaran di jam pertama dan kedua. Selain itu, bermain game online pun menjadi rutinitasnya usai otaknya mendidih karena berpikir terlalu keras. Namun, kali ini ada sedikit perbedaan.

Anggit berdecak pelan, kemudian menyodorkan sepiring batagor miliknya yang tersisa kobis dan telur rebus. "Makan ini dulu, geh, Hin. Biar ada tenaga dikit. Masa diem-diem wae."

"Tsk. Disisain, kok, kobis sama telor. Bisa kali siomaynya, Nggit. Biar Mehin ada tenaganya sedikit itu, lho." Rafa mencibir. Kendati demikian, Mehin belum menunjukan reaksi apa-apa terhadap kedua temannya yang sengaja bercanda sedikit untuk menghiburnya. Aura wajahnya malah makin suram bak kesambar petir beribu volt.

Merasa suasana mendadak berubah canggung, Anggit pun merangkul bahu Mehin, lalu ia bertanya, "Kowe kenangapa, toh, Hin? Jajal, cerita karo kita-kita. Iki durung awan banget, mbok sing semangat sitik dadi wong," ujarnya cukup serius.

(Kamu kenapa, sih, Ndra? Coba, cerita sama kita-kita. Ini belum siang banget, ayo yang semangat sedikit jadi orang.)

Mehin mengulum bibirnya, ia pun menghela napas pelan. Itu semua karena keraguan sempat mampir di benaknya. Memang, ia sudah berhasil menuaikan niatnya untuk membatasi segala akses komunikasi antara dirinya dengan Berliant. Namun, tetap saja ia kepikiran, kalau-kalau Berliant membuat keributan dengan melaporkan tindakannya ini kepada orang tua mereka. Bagaimana jadinya? Sudah pasti gawat darurat, lah.

"Halah, nggak ada apa-apa, kok, Nggit. Jenenge manusia yo iso ae ngluntruk. Nggak mesti semangat terus menjalani kehidupan, lah." Mehin menjawab sekenanya, lalu ia mengecek ponsel miliknya. Seperti ada getaran halus yang terasa di saku celana. Mungkinkah, pertanda perang dingin akan segera dimulai?

Ketika detak jantungnya berdebar tidak karuan, Mehin memberanikan diri mengintip notifikasi dari layar ponselnya. Ternyata, tidak ada apa-apa. Hanya pesan dari operator. Ia spontan bernapas lega. Seakan, sedikit beban yang menghinggap tadi, perlahan menghilang.

"Ngomong-ngomong, kalau aku nggak salah lihat, kamu berangkatnya dianter, tah, Ndra?" tanya Rafka. "Emange, motormu ke mana? Rusak?"

Sialnya, acara diantar paksa oleh Berliant kepergok oleh salah satu teman dekatnya. Mehin mendadak gelagapan. Sejujurnya, ia tidak ingin membahas soal itu lebih lanjut. Namun, kenyataannya realita tidak seindah apa yang ia mau. Semakin menghindar dari masalah, malah semakin didekatkan.

Anggit ikut menunggu jawaban. Bahkan, nasi pecel yang tersisa sesuap lagi, ia urungkan untuk menghabiskannya dalam satu waktu. Lebih memilih menanti jawaban dari Mehin. Seolah-olah, itu merupakan berita besar, bahwa teman dekatnya tidak berangkat sekolah pakai motor Scoopy kesayangan.

Melihat kedua temannya memperhatikan, Mehin merasa terpojokan. Ia kemudian terbatuk-batuk, lalu bergegas menyeruput es sirsak pesanannya yang belum diminum sejak tadi.

"Motorku dipinjem Bapak. Terus, aku dianter sama Mbak Berliant. Nggak ada yang aneh, 'kan?" Akhirnya, Mehin menjelaskan secara jujur tanpa ada embel-embel lain. Ya, daripada ia terus diteror oleh kedua teman dekatnya yang super kepo itu.

"Serius? Tumben banget kamu mau. Biasanya ...." Ucapan Anggit terhalau oleh Rafka yang langsung menyela cepat.

"Hus, kamu, tuh. Berarti ada peningkatan, dong? Maklum, Mehin, kan, gengsinya gede pol nek sama Mbak Berliant."

Gengsi? Bukan, bukan itu sebenarnya. Intinya, Mehin merasa Berliant terlalu mempermasalahkan apa yang ia lakukan selama ini. Terutama, kalau ketahuan main game online, sudah pasti Berliant akan mengomel sepanjang hari.

Hendak menjawab, tetapi tiba-tiba perutnya terasa bergejolak alias mules, Mehin pun bangkit dari kursi, lalu izin ke toilet. Bersamaan dengan itu bel pertanda jam istirahat selesai berbunyi nyaring.

"Beuh, malah kabur, tuh, anak," cibir Anggit.

Rafka berdeham, kemudian sudut-sudut bibirnya terangkat. "Kayak nggak tahu aja kamu, Nggit. Mehin, kan, anti banget ngomongin Mbak Berliant."

Setelahnya, mereka berdua pun beranjak, menuju kelas masing-masing.

***

Lima tumpukan foto rontgen tampak di sudut meja yang belum kunjung dibaca oleh Berliant. Gadis itu sedang fokus menatap layar ponselnya yang menampilkan kolom chat antara dirinya dengan Mehin. Namun, yang menjadi keanehan di sini adalah adik laki-lakinya itu sama sekali tidak membaca. Pesan yang dikirimkan pun masih centang satu. Belum lagi, foto profil milik Mehin terlihat kosong—setahu Berliant anak itu memakai foto tokoh anime bernama Levi dari Attack on Titan.

"Ish, masa nggak bales-bales, sih? Nggak tahu apa gimana kalau kakaknya lagi khawatir?" gerutu Berliant, masih menggenggam erat ponselnya di tangan. Ia belum beranjak dari zona nyamannya, duduk di atas kursi empuk beroda sambil menunggu balasan Mehin yang super judes itu.

Perlahan, pintu ruangan Dokter Spesialis Radiologi tempat Berliant berada terbuka, otomatis membuat gadis itu sedikit terperanjat kaget. Masuklah, rekan kerjanya—Radiografer—bernama Fian. Cowok itu tersenyum tipis, lalu mengangguk sopan. Benar-benar menghormati senior. Padahal, Berliant dan Fian umurnya tidak berbeda jauh.

"Izin masuk, Dok Berliant. Saya mau konfirmasi soal bacaan dari IGD barusan. Kalau bisa segera dibaca, ya. Soalnya, pasien mau dirujuk."

Mendengar itu, Berliant spontan menepuk jidatnya. Terlalu larut memikirkan adik laki-lakinya, membuat dirinya kurang konsentrasi terhadap pekerjaannya. Ia merasa kurang profesional sekarang. Masalah pribadi malah dibawa-bawa ke tempat kerja. Gimana, sih, Berliant?

"Ya allah, aku lupa. Maaf banget. Tunggu bentar, Mas. Tadi, aku sempet baca sebentar, kalau kaki kanan pasien ada remuk di bagian kelingking. Untuk bagian kaki yang lain, sepertinya nggak ada, alias aman," ujar Berliant dengan sigap mengetik hasil bacaan pada template yang telah dibuat sendiri, kemudian baru dipindahkan pada kolom hasil di SIMRS.

"Sudah, Mas. Ini .... " Berliant menyodorkan foto rontgen bersama hasil print bacaannya pada rekan kerjanya.

Sebelum keluar, Fian melirik sekilas Berliant yang terlihat buru-buru mengerjakan tugasnya. Ia juga melihat raut wajah Berliant sesekali berkerut sebal.

"Semangat, Dok Berliant. Masih pagi, jangan cemberut mulu. Saya izin keluar, ya?" Setelah mengatakan itu, cowok berkemeja batik PNS biru itu keluar. Tinggallah, Berliant yang tersenyum kaku di tempatnya. Ia rasa, kali ini butuh healing sebanyak mungkin. Selain karena Mehin adalah penyebab keresahan yang mengganjal di hati, beban hidup yang dipikul sudah terlalu berat.

"Apa aku butuh nikah, ya?" gumam Berliant, yang seketika teringat oleh banyak orang ketika dirundung masalah, pasti kepikirannya soal menikah melulu.

Berliant berdecak pelan. "Ngawur!" Ia lalu kembali fokus bekerja. Mengesampingkan perasaan-perasaan aneh untuk sementara waktu.

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang