Penyesalan memang selalu datang terakhiran. Ia tidak pernah dipinta, tetapi sering kali hadir membuat kacau suasana. Sejak tadi, ia hanya dapat memandangi wajah sang kakak dalam diam. Hatinya membuncah, seolah ingin berteriak, tetapi lagi-lagi bungkam tanpa suara. Bunyi alat ventilator sungguh mengganggu pendengaran Mehin sekarang. Belum lagi, alat bantu napas yang terpasang pada area hidung Berliant, seolah-olah gadis itu takbisa menghirup oksigen lebih banyak lagi.
"Sabar ya, Ndra. Aku yakin mbakmu pasti bangun," ucap Rafka pelan sambil mengusap punggung belakang sahabatnya. Bahkan, permintaan terakhir Berliant, tidak Mehin kabulkan. Namun sekarang, nasi telah menjadi bubur, Berliant pun belum membuka kedua mata. Belum lagi, Berliant sempat terindikasi cedera berat di bagian belakang kepala. Terdapat pula pendarahan dengan volume yang cukup banyak.
Karena hanya dibatasi dua pengunjung pasien saja yang boleh masuk ke ruang ICU dengan kondisi Berliant terbilang cukup kritis, Mehin terpaksa keluar untuk bergantian dengan Novan dan Anggit yang ingin melihat Berliant. Di luar, Ana tengah duduk di kursi tunggu. Wajahnya tampak sembab.
"Aku beli ke kantin rumah sakit dulu ya Ndra. Mau beli minum buat semua yang ada di sini." Rafka pun izin pamit pergi ke kantin. Tinggallah, Ana dan Mehin di depan pintu ruang ICU. Keduanya masih diam tanpa kata. Beberapa menit kemudian, Ana menarik Mehin dalam pelukannya.
"Maafin Ibu ya, Ndra. Maaf, belum bisa jadi orang tua yang baik buat kalian." Ana kembali terisak. Mengingat amanah yang diberikan oleh Pandu dan Kasih—orang tua kandung Mehin dan Berliant—belum bisa dijaganya dengan baik.
Mehin membalas dekapan erat itu sambil perlahan meneteskan air mata. Ia ikut terisak setelah sejak tadi menahan gejolak hati yang sempat mendera.
"Ini salah Mehin, Bu. Kalau aja tadi siang aku nggak nolak permintaan Mbak Berliant buat pulang ke rumah, nggak akan ada ke–ke–jadian .... " Ucapan Mehin menggantung, ia tidak sanggup melanjutkannya lagi.
***
Kabar Berliant masuk rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri sampai ke telinga Juwita, Mentari, dan Septian. Ketiganya bersamaan datang untuk menengok keadaan Mentari. Ketika baru menginjakkan kaki di stasiun, Juwita pun hampir menjatuhkan ponsel ketika mendapat kabar dari Ana, bahwa Berliant kecelakaan sampai tidak sadarkan diri.
"Bu .... " ujar Juwita, lalu ia memeluk Ana erat. Tangisan pun pecah, tetapi kali ini datang dari Juwita saja.
"Padahal, aku niat jalan-jalan sama Berliant, Bu. Tapi kenapa ...."
Ana membalas pelukan Juwita. Ia berusaha menenangkan sahabat baik Berliant yang jauh-jauh dari Jakarta itu.
"Sabar ya, Ju. Ibu minta doanya untuk Berliant. Supaya dia bisa segera bangun, terus kumpul lagi sama kita-kita."
Di sisi lain, ada Mentari yang ikut menitikan air mata. Ia turut berduka atas kecelakaan yang menimpa Berliant. Bahkan, ia tidak tega melihat Mehin yang sekarang seperti tanpa nyawa. Pandangannya kosong, seakan taklagi ada perasaan semangat dalam menjalani hidup.
"Ndra, Bapak boleh bicara sama kamu?" Suara Novan terdengar di sampingnya duduk, otomatis Mehin mengangguk meskipun pikirannya masih melalang buana entah ke mana.
"Kasih dan Rama. Mereka adalah nama orang tua kandungmu, Ndra."
"Kasih adalah kakak pertama dari Tante Ana. Dia yang nitipin kalian berdua untuk menjadi amanah terbaik yang pernah ada dalam hidup kita. Hampir belasan tahun, kita sudah berjuang untuk menghadirkan sosok bayi mungil, tetapi takdir berkata lain. Tante Ana menderita endometriosis yang mengharuskannya angkat rahim."
"Awalnya, kita sama sekali kurang menerima takdir yang diberikan ke keluarga kecil ini. Namun, apa boleh buat? Jika ini memang jalan yang terbaik dari-Nya? Tentu, sebagai manusia beriman, kita harus menjalani dengan suka cita, bukan?"
Mehin mengangguk. Ia tidak banyak merespons, selain tersenyum samar dalam diam. Perasaan duka dan suka menjadi satu padu di sore menjelang malam itu.
"Sebenernya, ketika kalian sering bertengkar, apalagi kamu suka nggak dengerin mbakmu, kita kepengen banget ngeur kamu, buat lebih menghargai kerja kerasnya. Memang, sih, kadang omelan Berliant agak frontal sedikit, tetapi asal kamu tahu Mehin. Mbakmu itu udah siapin segala hal buat masa depan kamu. Termasuk, soal uang kuliah. Dia kayaknya juga buat daftar kampus yang potensi nilai kamu bisa masuk. Ada kampus luar negeri juga, Mehin."
Mehin makin bungkam suara. Ia tidak menyangka di balik amarah dan emosi yang kerap membalut Berliant. Ternyata, ada sebuah kejutan luar biasa yang sengaja disembunyikan. Uang kuliah? Daftar kampus? Semua itu Berliant rangkum sedemikian rupa demi Mehin seorang. Namun apa kenyataannya? Mehin bahkan menolak mendengarkan segala permintaan Berliant yang banyak macamnya. Padahal, itu termasuk bentuk perhatian dari seorang kakak kepada adiknya sendiri.
"Mehin ngerasa bersalah banget sama Mbak Berliant, Pak. Udah nggak tahu lagi harus gimana selain banyak berdoa, biar dia bangun lagi. Tapi apa boleh adik yang banyak dosanya ini mengharap lebih?"
Novan merangkul Mehin sambil berkaca-kaca. "Boleh, Mehin. Asal kamu tau, ya. Tuhan itu senang kalau hamba-Nya banyak meminta pada dirinya. Jangan lupa doain terus mbakmu, ya. Nanti kalau kalian udah bisa omong-omongan lagi, kamu jangan kabur kalau Mbak Berliant ngomel, ya?"
Mendadak Mehin terkekeh meskipun derai air masih menghiasi setengah wajahnya. Ia bersyukur bisa bertemu orang tua sebaik Novan dan Ana, walaupun ia sendiri belum pernah tahu siapa Kasih dan Pandu secara langsung. Akan tetapi, setidaknya Mehin bersyukur masih punya Berliant. Saudara kandung yang lahir dalam rahim yang sama.
"Aku tunggu Mbak Ber ngomel lagi, ya. Pokoknya, jangan lama-lama tidur. Oke?"
***
"Berliant, bangun, Nak!"
"Berliant, bangun, Nak!"
"Kamu harus tetap hidup."
"Ada Mehin yang menunggumu untuk bangun."
Dalam ruang gelap yang sepi tanpa secercah cahaya. Seperti malam tanpa dihiasi rembulan di langit, Berliant berdiri seorang diri sambil membawa lentera. Ia mendengar suara-suara seperti sosok wanita dan pria saling menggema dalam benaknya. Kini, ia dilanda bingung, resah, dan gundah.
"Halo? Apakah ada orang?" seru Berliant sambil mencoba mencari jalan keluar. Ia sungguh ingin lari dari tempat ini. Pasalnya, Berliant takut akan hantu yang tiba-tiba mungkin saja datang nengejutkannya. Namun, setelah beberapa lama melangkah, Berliant terhenti di depan sebuah gerbang tingggi. Samar, ia melihat dua sejoli melambaikan tangan ke arahnya.
"Ibu? Bapak?" Spontan, Berliant pun berlari mendekat, tetapi ada yang menariknya paksa ke belakang. Larinya jadi tersendat-sendat. Ia pun berteriak minta tolong.
"Bapak! Ibu! Tolong, Berliant!"
"Pulanglah, Nak. Jangan ikut kami di sini," seru Pandu yang perlahan mundur. Diikuti Kasih di sampingnya. Sedangkan Berliant menggeleng, enggan menerima sebuah kenyataan, bahwa kedua orang tuanya telah tiada. Pertemuan mereka bahkan hanya sesingkat itu.
"Aku maunya sama kalian, Bapak, Ibu. Aku nggak mau pulang sendirian!" teriak Berliant setengah menangis.
Mendekati ujung gerbang yang dipenuhi kabut abu-abu, Kasih tersenyum tipis. "Boleh, tapi tidak sekarang, Ber. Masih ada Mehin yang harus kamu jaga. Titip dia, ya. Semalam suntuk dia terjaga, hanya untuk menunggumu siuman. Tolong, kembali!"
Sedetik kemudian, gerbang besar itu menutup rapat. Hilanglah Kasih dan Pandu secara bersamaan. Berliant berteriak kencang ketika tubuhnya tertarik paksa entah ke mana. Lentera dalam genggaman jatuh terlepas begitu saja.
Dengan sangat perlahan, Berliant menggerakan jemari tangannya. Samar-samar, ia bisa mendengar keributan. Dia antaranya adalah suara Mehin, sang adik kandung satu-satunya.
"Dokter! Mbak Perawat! Kakak saya barusan gerakin tangannya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN I HATE MY SISTER [END]
Random[Naskah Pilihan Editor Pada Event Festival Menulis Fiksi Rasi 2024] Hidup bebas, tanpa diatur, dan tanpa dikekang adalah impian dari Mehindra Syahreza. Ia bertekad mewujudkan semua itu dengan merantau selepas lulus dari SMA, yang sebentar lagi mulai...