36. Afraid

6.9K 615 168
                                    

Siang yang terik hari itu, mengharuskan Gita berangkat menggunakan topi dan juga masker untuk menghindari polusi Jakarta yang kurang sehat. Sesampainya Gita pada suatu pusat perbelanjaan, gadis itu terus berjalan masuk ke dalamnya bak sudah sangat hapal dengan tempat itu. Sesekali ia melihat layar ponselnya, takut sang teman telah menelepon dirinya. Ia mematikan mode hening pada ponselnya, kemudian memberikan lokasi sebuah kafe pada ruang obrolannya dengan Dea. Sebuah kafe tempat di mana keduanya akan bertemu agar Dea tidak tersesat.

Gita telah menduduki salah satu kursi yang kosong pada kafe tersebut usai memesan dua minuman untuknya dan juga untuk Dea. Suasana nyaman mulai terasa karena ia memilih untuk duduk pada bagian pojok kafe tersebut, membuatnya tak terlalu banyak mendengar suara bising dari ruangan tersebut. Aroma khas dari kopi serta lampu yang sedikit temaram, membuat Gita semakin nyaman.

Saat tengah menunggu Dea, Gita mulai termenung seraya menopang dagunya. Gadis itu terus memikirkan kejadian yang terjadi sebelum ia berangkat untuk bertemu dengan Dea. Jinan mengajaknya berbicara berdua, membicarakan hal yang cukup serius dan sangat sensitif untuk hubungannya dengan Kathrina. Berapa kali pun ia berusaha untuk melupakannya, sialnya hal itu kian teringat olehnya.

Gita menuruni anak tangga dengan cepat, namun, tetap berhati-hati. Sesampainya di lantai bawah, ia kembali tak sengaja bertemu dengan Jinan yang baru saja ingin naik ke lantai atas. Gita tersenyum kikuk kala Jinan menatapnya datar tanpa ekspresi. Bagi Gita, rasanya seperti bertemu dengan orang asing.

"Git, ayo ngobrol sebentar."

"A-aku lagi buru-buru, Kak! Temen aku udah nunggu a-aku di sana," elaknya cepat sedikit tergagap karena panik. Gadis tinggi itu berusaha menghindari tatapan Jinan kepadanya. Entah mengapa, setelah hubungannya dengan Kathrina diketahui oleh Jinan, Gita kini sedikit menjaga jaraknya dengan kakak tirinya itu.

"It won't take a long time, Gita."

Gita mengulum bibirnya, ada sedikit keraguan di sana. Namun, beberapa saat kemudian ia mengangguk dan mulai mengikuti kemana arah kedua kaki Jinan melangkah. Keduanya kini duduk bersebelahan pada kursi yang berada di halaman belakang rumah, menatap air kolam renang yang tenang. Hening. Gita hanya terus menatap air tenang itu dengan tatapan lurus. Ia tak berani menoleh sedikit pun menatap Jinan.

"Jadi, kamu beneran pacaran sama Kathrina? Kamu ... tau 'kan, apa resikonya, Gita?"

Gita terdiam, ia tahu obrolannya akan kembali membahas tentang hubungannya dengan Kathrina. Gita memainkan ujung jemarinya karena detak jantungnya terus memompa dengan cepat. Setelah berpikir sejenak, gadis itu mengangguk. "Tau, Kak." Gadis itu menghela napasnya perlahan. "Kak Jinan ... bisa rahasiain ini dari Mama dan Papa?"

Jinan mengangguk. Sebenarnya ia tak ingin membiarkan kedua adiknya memiliki hubungan terlarang, tetapi, jika memisahkan keduanya detik ini juga, pasti Kathrina akan kembali tantrum seperti sebelumnya. "Aku bisa rahasiain ini. Aku harap, kedepannya kamu sama Kathrin bisa lebih hati-hati lagi. Kalian beruntung karena bukan Papa sama Mama yang lihat kalian secara langsung."

Gita tersenyum tipis, merasa lega dengan jawaban Jinan. "Makasih, Kak."

Gadis yang lebih tua menghela napasnya panjang. "Tapi tetep aja, gak seharusnya kalian pacaran," ucap Jinan tiba-tiba, membuat Gita kembali menatap Jinan heran. "Karena ... hadirnya kalian," Jinan menggantungkan kalimatnya sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkannya, "Hadirnya Mama kamu dan kamu itu, adalah salah satu alasan dari perginya seseorang. Aku harap, kamu bukan alasan selanjutnya yang bakal buat aku kehilangan orang yang aku sayang lagi, Git."

Gita terdiam seribu bahasa, matanya tak lepas menatap Jinan lekat. Apa maksud dari ucapannya? Bagaimana kehadiran ia dan sang ibu, membuat Jinan kehilangan seseorang? Padahal mereka baru saja hidup bersama. Gita tak dapat memahami kalimat Jinan.

Obsessed || GitKath (END)Where stories live. Discover now