Seven - Wind without a trace

170 37 9
                                    

Hujan deras disertai badai yang menderu menyelimuti pemukiman yang tampak sepi dan gelap. Tetesan air turun dengan keras, menciptakan suara yang menggema di sekitarnya. Angin kencang menerpa pasir-pasir, mengangkatnya dan menciptakan kabut debu. Langit malam menjadi gelap gulita dengan awan hitam yang menyembunyikan bulan dan menutupi segala keindahannya. Bintang yang biasanya bersinar tak terlihat, digantikan oleh kilatan petir yang sesekali memecah keheningan.

Malam itu begitu suram.

Kawanan gagak mengitari sebuah rumah yang menjulang tinggi di antara rumah-rumah lain di pemukiman itu. Rumah itu terlihat begitu megah dan mewah, dengan arsitektur yang mencolok di tengah kegelapan malam. Burung-burung hitam itu terbang melawan angin, tak terpengaruh dengan hujan yang membasahi bulu-bulu mereka. Tampak aneh ketika sayap mereka yang seharusnya kesulitan untuk terbang, berhasil menembus badai. Mereka sibuk menggaok. Seolah bahagia telah berhasil menciptakan suasana yang semakin mencekam bagi penghuni rumah dibawah mereka.

Suara teriakan putus asa merobek keheningan malam yang sunyi. Berasal dari dalam rumah itu.

"PERGI! JANGAN MENDEKAT! AKU INGIN HIDUP!"

Seorang anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun mengamuk seraya melempar apapun kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Keadaannya yang kacau membuat rambutnya tak beraturan, dan matanya yang memerah penuh kecemasan melihat-lihat dengan cepat dan ketakutan. Tubuhnya yang dipenuhi bintik-bintik kehitaman gemetar hebat. Anak itu terus menggaruk tubuhnya dengan kasar, seolah-olah mencoba menghilangkan rasa gatal yang tak tertahankan. Kuku-kukunya melukai tubuhnya sendiri tanpa memedulikan rasa sakit yang ia rasakan.

Wanita paruh baya didepannya menangis putus asa. Setiap kali ia ingin mendekat, anak itu selalu mengamuk. Tidak banyak yang bisa ia lakukan melihat anak lelaki semata wayangnya bertingkah layaknya orang kesetanan.

"Apa yang terjadi padamu, Haku," tangisnya mengiringi gerakan lembut saat ia mengelus dadanya sendiri, mencoba menenangkan diri dan mencari jawaban atas perubahan anaknya yang begitu drastis.

Satu minggu yang lalu, Haku mengeluh gatal-gatal yang diikuti oleh munculnya bintik kehitaman pada kulitnya. Kemudian, ia mengalami demam tinggi yang membuatnya kehilangan kesadaran. Keluarganya telah memanggil tabib terbaik untuk memberikan perawatan yang diperlukan. Namun, ketika Haku akhirnya membuka mata, ia menghadapi masalah baru yang sangat mengkhawatirkan. Kakinya tiba-tiba lumpuh. Kondisinya semakin memburuk ketika ia mulai mengalami halusinasi dan terus-menerus berteriak seperti orang yang kehilangan kewarasan.

"Ampuni aku.. ampuni aku.." gumam Haku tanpa berhenti menggaruk tubuhnya. Garukan yang terus menerus itu memenuhi lengan, kaki, dan juga wajahnya. Tampak mengerikan ketika meninggalkan luka yang cukup dalam.

Seorang pria tiba-tiba menerjang dan memeluk tubuh Haku dengan erat, berusaha keras mencegahnya agar tidak terus melukai dirinya sendiri. Wajah pria itu terlihat terguncang meskipun ia mencoba menahan emosinya. "Haku, dengarkan Ayah!" serunya berusaha memanggil Haku untuk kembali pada kewarasannya.

Terlepas dari panggilan ayahnya, Haku tampaknya tidak merespons. Ia terus berteriak dengan keras, mengeluarkan kata-kata yang tak jelas untuk siapa, seolah tenggelam dalam dunia sendiri. Tatapan matanya kosong, dan tampaknya ia tidak menyadari kehadiran sang ayah yang berusaha membantunya.

Mata Haku tiba-tiba mendelik. Ia membuka mulutnya berusaha mencari udara untuk bernapas, tampak seperti orang yang dicekik. Tangannya dengan putus asa memukul-mukul lengan sang ayah, seolah meminta pertolongan, membuat semua orang di dalam sana panik.

"Sungguh, Haku, apa yang terjadi!" pekik sang ayah penuh kekhawatiran ketika melihat putranya yang semakin tidak terkondisikan.

Tubuh Haku menjadi kaku dan tegang. Ia meremas lengan ayahnya dengan kuat. Matanya yang mendelik mengeluarkan air mata. Ia telah mencapai titik akhir perjuangannya. Remasan pada bahu sang ayah perlahan-lahan melemah. Tanpa daya, tangan itu jatuh ke lantai. Haku tidak lagi bergerak. Ia tidak berteriak atau memberontak. Hanya terdiam, dengan mata yang masih melotot dan mulut yang terbuka.

ENTANGLED OF FATEWhere stories live. Discover now