Senja kemerahan menggantung di ufuk barat, jalan yang dilalui oleh kendaraan berlalu lalang di depan rumah tak pernah sepi, komplek perumahan yang ditempati oleh keluarga Zeyya memang diperuntukan bagi keluarga status ekonomi menengah. Menjelang malam itu Zeyya baru kembali dan yang paling mengejutkan ia mendapati Rian sedang duduk di depan teras bersama Zalin tengah duduk berdua dan makan ice cream bersama.
Bulik menyambut kedatangannya dari dalam rumah, rupanya wanita paruh baya itu sebelumnya ke dalam rumah dengan membawa tisu basah bersamanya. Untuk digunakan Zalina nanti.
Mobil yang sudah terparkir dan langkahnya yang pasti mendekati ketiga orang tersebut, Rian menatapnya dengan tatapan pasti.
"Bulik udah selesai masak buat makan malam nanti, hari ini kamu pulangnya agak telat ya."
Tanpa sadar Zeyya mendesah ringan penuh penyesalan, "aku masih bisa masak sendiri kok Bulik, nggak perlu repot-repot."
Hal itu dikarenakan yang ia janjikan cukup menemani Zalina bukan mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak.
"Kamu pulang tuh pasti capek, habis bersih-bersih bagusnya makan dan istirahat. Kebetulan Rian datang jadi bisa main tadi bareng Zalin."
Bibir Zeyya mengulas senyum dengan alami tanpa canggung sama sekali. Ini setelah seminggu mereka tidak pernah berpapasan apalagi saling kontak, saking terlalu sering dengan pola yang sama, ada sepekan mereka bisa begitu intens berkabar dan bertemu lalu ada pula waktu dimana mereka tidak berkabar sama sekali, pada awalnya kebiasaan itu menjadi ketergantungan untuk Zeyya bergantung dan hal itu amat menyiksa, ia ingin Rian selalu ada namun ia terhambat oleh status mereka yang hanya teman dan ia tak mau membebani pria itu dengan keadaannya tak peduli Rian selalu mengatakan bahwa dia bebas untuk dihubungi kapan saja. Bagi Zeyya kedudukan Rian tidaklah setara dengan Sera maupun Chika di mana ia bisa bergantung dengan nyaman atas nama teman. Masih segar diingatan bahwa ia pun sempat sakit akibat perasaannya itu. Semakin lama ia mulai terpikir untuk membiasakan diri menganggap Rian seperti selayaknya teman sesama wanita. Mungkin memang benar adanya teman tak se-gender yang tulus. Itu tak mudah dan ia sedang mengusahakannya, Rian memiliki pribadi yang baik dan menyenangkan hanya untuk di cut off akibat perasaan sepihaknya.
"Bulik pamit pulang dulu ya."
Berhubung memang rumah Bulik tak jauh dan cukup dengan berjalan kaki Zeyya mengiakan permintaan Bulik untuk pamit.
"Hati-hati ya Bulik, terima kasih," ucapnya sungguh-sungguh.
Zalina berdiri mengetahui Bulik akan pulang dia mencium tangan Bulik dan melambaikan tangan, Rian juga mengantar Bulik hingga ke depan pagar sebagai bentuk sopan santun.
Setahun lagi, Zeyya tak akan memberatkan Bulik dengan mengasuh Zalina. Bukan berarti memiliki Zalina merupakan hal yang berat, melainkan keterbatasan dan kegamangan yang melanda ia pikir ini yang terbaik. Toh, ia sama sekali tak kehilangan Zalina sepenuhnya. Meski ada satu titik di mana ia merasa begitu nelangsa dan patah hati, juga merasa bersalah pada Zalina sebab ia tak bisa menjadi pelindung yang ideal.
Senyum yang merekah yang ditampilkan Zalina tiap kali menyambut kedatangannya seakan meremas naluri. Disela air mata yang menggenang dan konsentrasinya yang mengambang di udara, Rian telah berdiri di depannya, menyentuh bahunya agar tersadar dan fokus.
"Lo sakit?" Nadanya syarat akan kekhawatiran.
Lihat, cara Rian memperlakukannya selalu membuatnya tak bisa tak berpikir positif dan selalu dipatahkan berkali-kali agar ia tak jatuh terlalu sakit.
Dengan lemah Zeyya menggeleng, "enggak. Kapan lo sampe sini? Tumben pulangnya cepet?"
"Ada pembatalan schedule, Pak Dev juga buru-buru pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
HTS (HOLY SHIT)
General FictionRupanya tidak semua orang tahu apalagi menyadari bahwa latar belakang seseorang sangat berpengaruh pada aksi-reaksi, terutama jika itu tentang hubungan berkasih sayang secara romantis. Walaupun Zeyya tak pernah menjalin hubungan-lebih tepatnya dia...